IB: Roulette- Aku Jatuh Cinta
**Sore yang cukup menyengat saat Adhikari baru tiba di lokasi yang sudah ditentukan oleh klub fotografi yang diikutinya. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya sekilas. Masih cukup awal, karena saat ia menemukan titik kumpul yang dimaksud, hanya ada Kama dan Daryata yang berada di sana.
Seseorang datang dan langsung mengambil tempat parkir di sebelah motor Adhikari, dan ketika ia membuka helm, rambutnya terurai begitu saja. Adhikari yang tengah mencoba kameranya, langsung mengarahkan lensanya pada wanita itu. Sengaja, gadis itu justru memasang pose yang menarik Adhikari untuk mengatakan "bagus, bagus".
Gita, begitu gadis itu dipanggil. Seseorang yang selalu terlihat ceria dan tersenyum. Adhikari bukan lama mengenalnya. Baru beberapa bulan terakhir saat ia baru bergabung bersama klub fotografi yang dibentuk Kama. Gita, masih sangat pemula menggunakan kamera, sedang Adhikari sudah sangat mahir, sehingga tak jarang, ketika ada kegiatan berkumpul seperti saat ini, Kama meminta Adhikari untuk mendampinginya.
Seperti hari ini, Kami kembali memasangkannya dengan Gita. Meski gadis itu cukup banyak cakap dan bertanya, Adhikari senang karena Gita cepat mengerti dengan apa yang ia jelaskan. Terkadang, jika ia merasa penjelasan Adhikari terlalu rumit, Gita mengeluarkan notes dari tas nya untuk mencatat apa yang dijelaskan Adhikari. Satu keunikan yang jarang Adhikari temui pada orang-orang yang ia kenal. Biasanya, mereka akan mencatat menggunakan ponselnya. Pernah sekali waktu, Adhikari bertanya mengapa Gita masih menggunakan notes kecil untuk mencatat sesuatu, dan gadis itu menjawab bahwa dirinya lebih mudah mengingat jika sesuatu itu sudah ia tuliskan. Hal-hal kecil itulah yang membawa hatinya pada satu perasaan suka, berdebar, dan bahagia ketika bersama Gita
**
Sebuah restaurant dengan banyak ornamen serta interiornya yang unik menjadi tujuan keduanya. Mereka berpisah sejenak untuk mencari objek yang menarik menurut selera masing masing. Diam-diam, Gita sesekali memotret sosok Adhikari yang tengah asik dengan kameranya. Beberapa gambar ia ambil hanya untuk disimpannya sebagai kenangan jika mungkin ia akan meninggalkan klub ini suatu hari. Tanpa sadar, ia tersenyum saat melihat hasil gambar yang diambilnya dari kejauhan. Meski dengan jarak itu, tak memudarkan pesona serta wajah tampan Adhikari, terlebih ketika ia tengah mengagumi sesuatu lalu mengabadikannya. Dan tanpa Gita sadari, seseorang sedang mengagumi dirinya yang tersenyum.
Takut gerak geriknya akan mencurigakan, Gita bergerak semakin menjauh lebih ke dalam restaurant. Langkahnya terhenti pada satu ruangan berisi lukisan-lukisan cerita dewa dewi Romawi dan Yunani. Matanya tertuju pada satu lukisan berlatar warna merah muda dengan sosok seorang dewi di depannya. Dengan sekali melihat, Gita sudah bisa menebak sosok dewi itu adalah Aphrodite, sang dewi kecantikan. Lama dirinya mengagumi sosok dalam lukisan itu. Bukan tak menyadari ada seseorang yang melangkah mendekat, hanya saja ia fikir orang itu bukanlah Adhikari.
**
"Cantik," ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Adhikari. Gadis yang tampak mengagumi lukisan di hadapannya, langsung menoleh dan membuat dirinya memalingkan wajah dari sosok yang sejak tadi dipandangnya mesra.
"Yaa, namanya juga Aphrodite,"
"Makan yuk," ajak Adhikari "aku lapar,". Ajakan yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Gita.
Adhikari memutar tubuhnya, berjalan menuju pintu dengan Gita yang mengekorinya dari belakang. Ia bejalan cepat lalu menempatkan diri pada satu meja yang berada di sudut ruangan.
"Kamu mau pesan apa?" Tanyanya langsung. Gita menyebutkan beberapa menu dan Adhikari mencatatnya pada kertas pesanan.
"Tunggu di sini ya. Aku pesan ini dulu, sekalian mau ke toilet sebentar.
Titip ya," pamit Adhikari dan meninggalkan kameranya di atas meja. Persis di sebelah kamera Gita, yang sama dengan miliknya.**
Manik mata Gita tak lepas dari laki laki dengan cardigan berwarna hitam yang berjalan mendekati meja kasir. Bahu bidangnya yang tegak dan tegas, langkah yang terlihat begitu percaya diri, membuatnya semakin mengagumi sosok Adhikari. Seringkali ia merasa, jantungnya berdebar terlalu cepat ketika bersama dengan laki-laki itu. Bahkan hanya dengan mengingat kebersamaan merea berdua saja, sudah mampu membuatnya tersenyum.
Pandangannya terhenti saat sesosok laki laki bertubuh tegap berdiri di hadapannya sejenak, lalu mengambil duduk di kursi yang seharusnya milik Adhikari. Gala, teman satu klub yang sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya.
"Tumben bawa dua kamera?" Tanya Gala.
"Punya Adhikari"
"Orangnya ke mana?"
"Ada. Lagi pesen makanan barusan sekalian ke toilet,"
"Tadi ambil foto di mana aja?" Pertanyaan Gala yang memancing Gita untuk bercerita lebih banyak dan obrolan keduanya saling bersahutan. Sesekali Gita tertawa ringan dengan candaan receh yang dilontarkan Gala.
**
Adhikari yang baru kembali dari toilet dan menyelesaikan pembayaran pesanannya di kasir, menghentikan langkahnya yang sudah membawa nampan pesanan dan menuju meja mereka. Ia melihat Gita yang mengobrol sangat akrab dengan Gala, yang sebelumnya bahkan Adhikari tau mereka berdua tak pernah mengobrol bahkan saling kenal lama.
Sebuah perasaan aneh menggeliat di dadanya. Rasa marah, tidak suka saat melihat Gita tertawa lepas bersama Gala. Seketika itu pula lah, keinginan untuk tak melihat adegan ini lebih jauh muncul. Ia memantapkan langkahnya menuju meja mereka dan meletakkan pesanannya."Aku balik duluan" ucapnya sambil lalu dan mengambil sembarang kamera yang berada di atas meja tanpa melihat lebih teliti.
"Lho, katanya mau makan?"
"Nggak jadi. Kamu makan sama Gala aja," ucapnya pada Gita. "Sorry, Bro. Gue udah terlanjur pesan. Lo nggak apa-apa, kan temenin Gita makan?" Lanjutnya ditujukan pada Gala.
Gala yang terkejut tak mampu berkata bahkan mencegah Adhikari yang melangkah menjauh.
**
"Gue jadi nggak enak ganggu kencan lo sama Adhikari," ucap Gala.
"Gue nggak kencan sama Adhikari,"
"Tau nggak kenapa Kama sering kasih lo sama Adhikari?". Gita menggeleng kecil. "Karena Kama bisa lihat gimana Adhikari mengagumi lo sebegitunya,"
Gita terdiam dan sedikit tersipu dengan ucapan Gala.
"Udah, ah. Gue juga balik. Gue yakin itu anak masih nungguin lo di titik kumpul. Telepon gih, suruh balik. Sayang banget makanannya nggak diabisin. Bilang aja lo di tinggal sama gue," dan Gala berlalu meninggalkan Gita sendiri di sana.
Gita benar benar mengikuti saran Gala. Ia mengirim pesan singkat pada Adhikari.
'Kamu beneran udah balik?'
'beneran nggak mau temenin aku makan dulu?'
'atau...kamu nggak mau jelasin sesuatu sama aku, gitu?'
Hanya menunggu sebentar sampai suara tanda pesan masuk di ponsel Gita berbunyi. Ia segera membuka isi pesan balasan Adhikari yang menanyakan penjelasan apa yang diinginkannya.
'ya aku tau, kamu sering iseng potret aku. Tapi, kamu nggak mau jelasin kenapa sebagian besar gambar di kamera kamu ini isinya foto aku?' dengan yakin, Gita mengirimkan pesan itu. 'jelasin sambil makan, yuk. Gala pergi. Dan aku nggak bisa habisin ini sendiri' lanjutnya dengan mengirim emoji menangis.
Tak sampai lima menit, Gita sudah mendapati Adhikari berdiri di ambang pintu cafe itu saat ia mendengar lonceng di atas pintu itu berbunyi. Dengan sedikit terengah dan senyum sipu, Adhikari malu malu melangkah.
Gita bersyukur karena kamera mereka yang tertukar hingga mengetahui bahwa perasaannya tak sendiri.
YOU ARE READING
Goresan Tinta
PoetryGoresan pena kini tak bermakna, hanya tarian jari diatas tuts berwarna hitam dapat mewakilinya. sama, diatas sembuah bidang putih ia tertuang. Entahlah, hanya sebuah ungkapan hati agar tak menjadi beban.