Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*Mina
Aku berlari secepat mungkin menuju rumah dengan air mata yang masih mengalir keluar dari kedua kelopak mataku.
Aku marah dengan semua nasib buruk yang terjadi padaku.
Mengapa aku harus dilahirkan sebagai orang Jepang? Mengapa aku harus dilahirkan sebagai anak orang kaya yang sangat memikirkan status sosial? Mengapa aku harus jatuh cinta pada seorang pria berkebangsaan Korea, yang sangat dianggap rendah oleh negaraku?
Intinya, mengapa aku tidak diizinkan untuk bisa bersama Wonwoo?
Sikap ayah saat ini juga semakin membuat amarahku memuncak.
Ayah sudah sangat keterlaluan ingin memisahkanku dengan Wonwoo kun dengan cara ingin menikahkanku dengan pria lain. Ia bahkan menjanjikan Wonwoo kun sejumlah uang dan berjanji akan memulangkannya ke Korea.
Ayah sungguh menggunakan kelemahan Wonwoo untuk menjauhkannya dariku.
Dan Wonwoo, pria yang selama ini kuperjuangkan, sungguh tak ada bedanya dengan ayah.
Ia menyembunyikan hal penting semacam itu dariku, padahal dia tau kalau aku sangat membenci kebohongan. Tetapi ia malah membohongiku.
Aku yakin ia tak berniat memberitahu karena ia tengah merencanakan sesuatu.
Merencanakan suatu cara untuk meninggalkanku dengan diam-diam.
"Mina, dari mana saja kau Nak?" suara ibu yang tiba-tiba memanggilku, membuatku menghentikan langkahku.
Aku menolehkan kepalaku perlahan, dan mendapati ayah dan ibuku tengah duduk di sofa seraya menatapku penuh tanya. Pakaian mereka sudah berganti menjadi pakaian rumah, yang artinya mereka sudah cukup lama tiba di rumah.
Aku berjalan gontai ke arah orang tua ku, lalu membungkukan badanku kepada keduanya, memberikan salam. "Selamat malam Yah, Bu"
"Selamat malam sayang. Kau habis dari mana? Bersama siapa?" tanya ibu. Ayah juga terlihat menunggu jawabanku seraya menyesap teh dari cangkirnya.
Aku mendesah pelan seraya memejamkan mataku. Dapat kurasakan air mataku kembali mengalir dan sedetik kemudian, aku telah menemukan diriku menangis.
"Mina, kenapa kau menangis?" Ibu kini tengah berdiri di hadapanku seraya mengusap-usap punggungku.
"Aku benci Ayah, Bu.. Aku benci Ayah!" ucapku jujur, masih sambil mengeluarkan tangisanku.
"Apa?! Apa yang membuatmu berbicara seperti itu pada ayahmu sendiri?!" bentak Ayah. Ia berdiri dari tempatnya lalu berjalan ke arahku seraya berkacak pinggang.