Aku berlari. Menutup pintu dengan paksa dan segera keluar menuju gerbang. Tidak memerdulikan hujan yang turun, aku langsung keluar menuju jalan.
Napasku tersengal-sengal. Melihat rumah itu sekali lagi sebelum akhirnya aku membuka pintu gerbang rumah milikku sendiri. Segera masuk ke dalam rumah dengan napas yang memburu. Bahkan, tanganku masih bergetar ketika teringat akan kejadian beberapa waktu yang lalu.
Aku bersumpah. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku ke dalam rumahnya lagi! Janjiku sambil melirik pada rumah laki-laki itu yang berada tepat di sebelah rumahku.
Ya. Rumah laki-laki yang baru saja telah bertindak kurang ajar kepadaku. Menyentuhku dengan sangat tidak sopan dan menatapku dengan tatapan....
Ya Tuhan. Tidak. Tidak. Tidak!
Aku menggeleng-geleng keras. Berusaha melupakan tatapan itu. Tatapan mengerikan yang baru saja ia lakukan. Aku berani bertaruh, jika dalam satu menit saja aku tidak berhasil keluar dari ruangannya, aku pasti akan...
Hingga tanpa sadar aku meremas kancing kemeja bagian atas dadaku. Menyilangkan kedua tanganku seperti ingin melindungi diri. "Tidak." Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengenyahkan pikiranku tentang dirinya yang terasa sangat menganggu.
"Sia. Sia." Hingga akhirnya sebuah suara mengangetkanku. Aku tidak sadar bahwa nenek sudah berada di ujung tangga dan menatapku dengan tatapan heran. "Kau kenapa...? Kenapa mukamu pucat sekali?" Ucapnya seraya berjalan ke arahku. Lambat-lambat dengan tongkat yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.
"Emm.. Oma?" Panggilku kepada nenek. "A-aku tidak apa-apa." Jawabku singkat sambil melemparkan tas ranselku dan langsung duduk di sofa.
"Jam berapa ini? Kenapa sudah pulang?" Tanya nenek kemudian. Terlihat mengamati jam dinding sebelum menatapku kembali.
Aku hanya bisa mengernyit sebelum akhirnya aku menjawab pertanyaan dari Oma. "Ya, Oma." Aku mengangguk. "Emm. Mulai hari ini aku tidak menjadi guru bahasanya lagi." Ucapku jujur.
Oma mendekat dan tampak mengamatiku. "Benarkah? Memangnya kenapa? Apa kau dipecat?"
Setengah bibirku terangkat ketika mendengar pertanyaan dari Oma. Apa lagi ketika Oma mengatakan bahwa aku telah dipecat. "Come on, Oma. Dari awal aku tidak pernah merasa dipekerjakannya. Yah, meskipun aku menerima uang darinya sebagai jasa ketika aku mengajarinya bahasa Perancis." Ucapku jujur. Tidak mengelak bahwa satu bulan yang lalu aku memang diberi uang muka oleh Adam.
"Lalu?"
Aku mengernyit. "Well. Aku hanya merasa tidak cocok untuk mengajarinya." Ucapku sambil lalu. Berdiri lalu melewati Oma dan tidak lupa menciumnya. Masih meninggalkan Oma dengan tatapan bingung ketika mata kami bertemu. Sepertinya, Oma masih tidak mengerti dengan alasanku tadi.
"Aku ke kamar dulu. Aku mencintaimu, Oma." Aku mencium pipinya kilat sebelum aku benar-benar naik menyusuri tangga untuk menuju kamar.
***
Mandi benar-benar terapi terbaik untuk menghilangkan beban yang ada di kepalaku. Pikiran-pikiran berat yang tadi sangat mengganggu, kini lumayan menghilang saat aku keluar dari dalam kamar mandi. Masih menggunakan piyama dan handuk untuk mengeringkan kepalaku, aku berjalan mendekat ke arah ranjang.
Baru saja kakiku melangkah, mataku tidak sengaja melihat secangkir teh panas yang mengepul di atas meja.
Astaga. Ini pasti Oma.
"Ya ampun, Oma." Aku menatap cangkir itu dengan tatapan iba. Sudah berulang kali aku katakan bahwa aku bisa membuatnya sendiri tetapi Oma selalu melakukannya. Bahkan, berjalan pun dia harus menggunakan tongkat. Bagaimana kalau dia terjatuh saat dia mengantarkan teh ini menyusuri tangga?
Aku kemudian meraih cangkir itu. Baru saja aku akan mencicipinya, tiba-tiba bulu kudukku meremang. Tidak sengaja, udara malam menerpa kulitku hingga membuatku bergidik kedinginan. Aku baru menyadari kalau jendela kamarku belum kututup rapat. Pantas saja angin berhasil masuk ke dalam kamar apa lagi di luar sedang hujan disertai angin yang kencang.
Setengah berlari aku menuju pintu. Tapi baru saja aku akan menutupnya, bulu kudukku kembali dibuat berdiri untuk yang kedua kalinya. Bukan karena kedinginan, tetapi karena sosok yang sepertinya sedang menungguku di seberang sana. Mematung dan mengamatiku dengan tatapan tajam.
"A-Adam?"
Entah, aku tidak tahu kenapa aku terus seperti ini. Aku selalu merasa ketakutan jika mata cokelat itu menatapku dengan begitu intens. Bahkan, dari kejauhan dari tempatku berdiri saat ini.
Sejak kapan dia melakukannya? Sejak kapan dia berdiri di sana dan menatap aktivitasku di dalam kamar?
Mungkin, aku harus mengutuk kenapa rumahku bersebelahan dengan rumah miliknya. Membuatku tidak nyaman ketika aku membuka jendela kacaku sendiri. Dia yang di rumahnya dapat dengan bebas melihatku. Melewati kaca jendela yang juga ia punya, dia dengan mudah mengamatiku seperti ini.
Rumah kami bersebelahan, dan ketika kami sama-sama membuka jendela kamar. Kami dapat melihat aktivitas masing-masing dari dalam kamar karena letak kamar kami yang berseberangan.
Aku menahan napas. Saat dia masih bertelanjang dada sama seperti setengah jam yang lalu saat aku meninggalkannya.
Cepat-cepat aku menutup jendela. Mengabaikan dia yang masih menatapku, aku segera meraih gorden dan menutupnya rapat-rapat. Memegang ujung bagian atas piyamaku dan meremasnya.
Ya Tuhan... Kenapa tatapannya begitu mengerikan? Tidak berubah sama sekali sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Sejak dia pindah ke tempat itu satu tahun yang lalu. Sejak dia tiba-tiba sering mengunjungiku dan datang menganggu. Sejak tiba-tiba dia menawariku untuk menjadi guru bahasa Perancisnya.
Ya. Satu tahun yang lalu.
Saat...
Dan tiba-tiba otakku berputar. Teringat akan kejadian satu tahun yang lalu ketika tanpa sengaja aku dipertemukan oleh dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Boy Next Door (TAMAT)
RomanceNamanya Adam Dia, dua belas tahun lebih tua dariku. Aku dengar, dia seorang duda. Istrinya kabur bersama dengan laki-laki lain dan hanya menginginkan hartanya. Tapi, ada yang bilang bahwa istrinya sudah meninggal. Ada juga yang mengatakan bahwa istr...