Bab 2 - (A) Satu tahun yang lalu + teh panas yang sudah dingin

23.2K 1.3K 9
                                    

Satu tahun yang lalu. Pagi masih terkesan redup ketika aku keluar dari rumah. Gerimis yang terus turun membasahi bumi tidak menyurutkan niatku untuk pergi menuju kampus hari ini. Membawa setumpuk artikel dan setumpuk buku, aku sedang berupaya mengajukan judul skripsiku nanti. Sungguh. Aku sudah benar-benar ingin lulus. Ingin segera mencari pekerjaan untuk membahagiakan Oma yang selama ini merawatku.

"Dingin sekali," desisku lirih. Menggunakan mantel tebal serta payung yang kubawa, aku mulai melangkah keluar. Berjalan keluar dari gerbang untuk segera menuju halte bus.

"Hei, SIA!" Baru saja aku mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar dari perumahan, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namaku berulang kali.

"Mr. Leonard?" Aku kaget ketika mendengar Mr. dan Mrs. Leonard yang melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

Ya. Aku kenal siapa mereka. Tetangga setiaku yang hidup bersebelahan denganku. Aku dengar, mereka akan pindah dan menjual rumah itu. Memutuskan untuk tinggal bersama anaknya untuk menikmati usia senjanya.

"Astaga, Mr. Leonard? Apa anda akan pergi hari ini?" Tanyaku seraya mendatangi mereka. Melihat truk-truk besar mengangkut barang mereka.

Mereka mengangguk lalu tersenyum melihatku. Dan entah kenapa aku malah seperti ingin menangis. "Ya Tuhan. Pasti aku akan merindukan kalian." Ucapku sambil memeluk mereka berdua.

Aku seperti merasa kehilangan. Aku dan Oma sudah sangat dekat dengan mereka. Apa lagi usia mereka hampir sama dengan kedua orang tuaku yang sudah meninggal. Benar-benar merasa sedih ketika mendengar mereka pindah dan menjual rumah ini pada orang asing.

"Oh iya, ini." Dan tiba-tiba Mr. Leonard memberikan sebuah kunci kepadaku.

"Apa ini?"

"Kunci rumah ini, Sia. Orang yang membelinya tidak kunjung datang. Katanya dia baru bisa datang malam nanti. Jadi, lebih baik kami menitipkannya padamu. Tenang saja, kami sudah mengatakan padanya kalau kunci itu akan kami titipkan ke tetangga." Ucapnya.

Hingga akhirnya aku mengangguk. Menggenggam kunci itu kemudian menaruhnya pada tas ransel. Dan kini mereka berpamitan denganku, memelukku secara bergantian lalu keluar dari rumah mereka. Sedangkan aku, aku hanya bisa mematung menatap kepergiannya dengan raut muka sedih. Menatap pada rumah ini sebentar sebelum aku juga ikut pergi dari sini.

Tapi baru saja aku akan melangkahkan kaki, pandanganku seperti terganggu akan sesuatu. Membuatku langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah orang yang berdiri di sana. Pada gerimis yang semakin deras, dia hanya mematung di samping tiang listrik tanpa menggunakan payung dan jas hujan.

Siapa dia?

Aku mengernyit. Tapi tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya. Mungkin dia sadar saat aku memperhatikannya. Dia terlihat berjalan menghindar ketika aku mencoba menjangkau raut wajahnya.

"Siapa dia? Sepertinya aku belum pernah melihatnya." Tanyaku pada diri sendiri. Meremas gagang payung yang kubawa dan tanganku yang lain menengadah pada gerimis yang masih turun.

Kenapa dia keluar dan hujan-hujanan seperti itu? Hanya menggunakan jaket hitam dan menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya.

Tapi aku mengabaikannya. Menarik napas panjang lalu melangkah meninggalkan kompleks perumahan. Mengabaikan cipratan-cipratan air yang menggenang yang mengenai celana jinsku.

***

Sudah hampir jam sepuluh. Aku sedikit was-was karena hari ini aku sudah terlanjur membuat janji dengan Profesor. Dosen paling killer seantero jagat raya. Kalau saja aku datang terlambat, pasti skripsiku akan bernasib sial seperti kasus-kasus mahasiswa abadi yang ada di setiap kampus.

Aku benar-benar tidak sadar kalau tadi saat bersama dengan Mr. Leonard akan menyita banyak waktu. Membuatku hanya bisa berharap agar bus bisa segera datang dan cepat mengantarku menuju kampus hari ini.

Dan ternyata Tuhan menjawa doaku. Aku melihat kepala bus dari perempatan jalan menuju tempatku berdiri saat ini. Cepat-cepat aku melambaikan tangan. Segera naik ke dalam bus dan duduk pada tempat duduk yang kosong.

Aku kemudian mengalihkan pandangan pada kaca yang ada di samping tempat dudukku. Termenung melihat air hujan yang mengalir dari kaca jendela. Hingga tidak sadar aku melihat orang yang masih berada di sana. Lewat kaca jendela bus, aku dapat melihat sosok yang tampak seperti mengamatiku. Di halte bus. Di tempat yang sama ketika tadi aku berdiri menunggu bus ini. Dia tampak memperhatikan aku ketika aku sudah berada di dalam bus dengan tatapan tajam. Aku dapat melihat titik-titik air yang tidak sengaja jatuh. Melihat jaket yang ia kenakan ternyata basah kuyup seperti kehujanan.

Siapa dia?

Apa dia mengenalku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?

Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan. Kenapa dia terus-terusan menatapku seperti mengenaliku?

Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Kulirik lagi orang itu. Tetapi orang yang menggunakan jaket hitam itu masih terus menatapku.

Hingga akhirnya bus ini melaju, namun pria itu masih saja mengamatiku. Menyisakan sepasang mata yang entah mengapa langsung membekas dan terekam jelas di bagian inti kepalaku. Sepasang mata cokelat yang beberapa detik yang lalu sempat membuatku terjebak di dalam sana.

Dan tiba-tiba aku terkesiap. Merasa tidak asing dengan jaket yang tadi ia kenakan. Sepertinya, aku pernah tidak sengaja melihatnya di suatu tempat.

Deg!

Dan otakku tiba-tiba teringat akan sesuatu. Saat aku berada di depan rumah Mr. Leonard tadi pagi. Saat aku melihat seseorang yang berdiri di bawah tiang listrik. Saat orang itu berbasah-basahan tanpa menggunakan jas hujan atau pun payung yang melindunginya.

Astaga!

Tidak! Siapa dia?!

Dan yang lebih membuatku semakin takut adalah, dia sempat berada di kompleks perumahanku.

The Bad Boy Next Door (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang