0 new message

69 15 11
                                    

Aku berulang kali membolak-balik kertas brosur yang berisi informasi tentang salah satu sekolahan yang paling bergengsi di wilayahku. Menimang-nimang sambil memikirkan sesuatu yang tepat untuk diputuskan.

"Gimana? Bagus kan sekolahnya?" Aku menoleh mendapati Ibuku yang melihatku dengan sorot yang berbinar. Ingin sekali melihatku langsung mengangguk setuju.

Aku melihat lagi brosur yang ada di tanganku, melihatnya secara rinci. Di situ tertera banyak jaminan yang membuatku tergiur ingin benar-benar masuk ke sekolah itu.

Lalu melihat Ibuku lagi, wajahnya sudah menyiratkan bahwa Ibu tidak sabar menunggu jawabanku, "Tapi kalau aku nggak diterima gimana, Bu?"

"Sudah dicoba dulu aja. Hari ini Ibu antarkan legalisir piagam dulu, yuk"

Beberapa minggu yang lalu, aku sudah dinyatakan secara resmi oleh sekolah bahwa aku lulus dari jenjang sekolah menengah pertama. Bahkan sebenarnya aku tidak habis pikir, hanya untuk secarik kertas saja orang harus berjuang selama 3 tahun. Hasil memang butuh perjuangan yang tidak main-main.

Setelah dinyatakan aku lulus, aku merasa biasa saja. Bahkan untuk memikirkan aku akan melanjutkan pendidikan di mana pun tidak.

Lalu hari ini, aku akan memulai semuanya lagi dengan kemauan Ibuku.

"Sudah sampai, ayo turun" Kemudian aku turun dari motor dan Ibu segera memarkirkan motornya. Setelah selesai Ibu langsung menghampiriku yang sudah berjalan duluan.

Dinas Pendidikan, tempat yang bahkan baru pertama kali aku jamahi. Aku hanya menuruti kemauan Ibuku yang ingin melegalisir piagam, hal yang dipenuhi jika akan mendaftarkan sekolah.

Sebenarnya aku hanya menang lomba bela diri setingkat Kabupaten/Kota. Namun Ibuku terlalu berlebihan ingin mengurusnya, seperti aku menang kejuaraan Nasional saja.

Di sini cukup membosankan, aku mondar-mandir untuk mencari sesuatu hal yang menarik. Aku berjalan keluar dari gedung membiarkan Ibuku menunggu di dalam. Aku orangnya mudah jenuh.

Merasa jengkel, aku menendang sebuah kerikil yang langsung berhenti di depan sebuah sepatu. Yang awalnya aku menunduk, aku langsung mendongak.

Si punya sepatu adalah seorang laki-laki yang mungkin seumuranku, dengan masih dibalut seragam SMP yang sama sepertiku namun dengan badge yang berbeda. Ia melihatku dan tersenyum kecil. Aku jadi merasa kikuk.

"Bosen, ya?" Ia bertanya padaku sambil terkekeh melihat aku yang seperti orang bodoh. Namun belum sempat aku membalas, Ibuku memanggil. Sepertinya urusan di dalam sudah selesai. Aku hanya bisa pamit dengan membungkukkan badan sedikit tanpa berucap satu patah kata pun.

Aku berlari menuju Ibuku. Raut wajahnya seperti agak kesal, "Ternyata ini harus dapat tanda tangan dari DISPORA dulu" aku mengusap tengkuk, tidak paham dengan apa yang dikatakan Ibu.

"Terus gimana?"

Ibu merangkulku seraya berjalan menuju tempat parkir lagi, "Besok aja kita kesini lagi. Masih ada waktu"

Aku hanya mengangguk, menuruti Ibu juga tidak akan membuatku kesusahan.

Namun saat aku akan benar-benar pulang aku teringat sesuatu,

Aku tidak tau nama anak laki-laki itu.

Esoknya, aku kembali ke Dinas. Mengurus apa yang belum terselesaikan. Lagi-lagi aku bosan dan hari ini aku tidak bertemu dengan anak laki-laki itu.

Setelah selesai, aku dan Ibuku langsung menuju ke sekolah yang aku tuju. Tidak jauh dari tempat Dinas berada, sih.

Melihat banyak yang mendaftar, aku sebenarnya minder. Namun Ibuku selalu percaya bahwa aku bisa masuk ke sekolah yang diinginkannya itu.

Seperti halnya pendaftaran pada umumnya, pasti hal yang paling penting adalah sabar menunggu dan itu adalah hal yang paling aku benci.

"Bu, aku jalan-jalan dulu ya" Ibuku yang sedang memainkan ponselnya mengangguk. Lalu aku berjalan ke arah kanan yang sebenarnya aku tidak tau kemana arah tujuanku.

Aku melihat-lihat di sepanjang koridor. Banyak mading-mading yang menarik perhatian. Seperti informasi-informasi unik tentang dunia sampai berbagai macam musik pop yang sedang booming di Indonesia. Namun aku sedang tidak ingin membaca.

Saat aku melihat ke arah depan, tepat di ujung koridor ada seseorang sedang melihat-lihat mading di sana yang sepertinya kukenal. Aku menyipitkan pandanganku memastikan bahwa yang aku kira itu benar. Setelah merasa yakin, aku menghampirinya.

"Hai!" Yang kusapa hanya menoleh. Melihatku dari atas sampai bawah dengan wajah yang datar. Apakah penampilanku ada yang salah?

Aku tersenyum kecil, "Maaf ya, kemarin Ibuku manggil aku. Jadi aku nggak sempat ngobrol sama kamu" Ia masih melihatku. Sorot matanya tidak bisa terbaca, entah kenapa dia terlihat berbeda hari ini. Tidak seramah kemarin. Hari ini dia tidak menunjukkan senyumannya kepadaku.

Merasa diabaikan, aku terdiam. Ia tidak berbicara sepatah kata apapun lagi denganku. Bahkan Ia sekarang melangkah pergi menjauh dariku.

Belum jauh, aku menarik bahunya pelan. Melihat nama yang tertera pada badge bajunya, lalu tersadar dan berlari menjauhinya. Aku malu.

Tapi aku sudah tau namanya. Singkat sekali namanya, Arodarian.

Aku berjalan meninggalkan koridor menuju ke taman.Terasa sejuk sekali disini. Aku duduk di sebuah kursi sambil menerawang ke atas, lagipula aku meninggalkan ponselku pada Ibuku.

Mengingat Ibuku, sepertinya aku mendengar langkah kaki seperti milik Ibuku, "Sepha! Kamu itu dicariin kemana-mana ternyata disini" Aku menunduk, mendengarkan omelan Ibuku tentang aku yang dengan santainya berjalan-jalan tanpa membawa ponsel. Membuat Ibuku cemas saat melihat aku tidak ada dimana-mana.

"Bu, aku Sepha. Sudah lima belas tahun," Tidak terima karna aku pikir aku sudah besar hanya untuk dikhawatirkan.

Ibu menggeleng gemas, "Sudah ayo pulang. Besok tinggal lihat pengumuman"

Setidaknya hari ini aku mengetahui namanya.

Sesampainya dirumah aku langsung pergi ke kamarku, berganti baju dan merebahkan tubuhku di kasur. Tidak lupa malamnya aku memegang ponselku dan mencari akunnya di sebuah media sosial yang sekarang banyak dipakai orang-orang.

Nah, aku menemukannya.

@Arodarian, 20 followers, 2 following, 1 post.

Ternyata anak ini seperti bukan sosmed-addict.

Sepertinya memang aku harus mengikutinya,

@SephaTatjiana
Follow back?

Beberapa menit kemudian, pesan itu hanya sampai dibaca saja. Dibalas pun tidak. Namun saat aku ingin mengunci ponselku, sebuah notifikasi baru masuk.

@Arodarian started following you

Lalu aku merasa atmosfer menghilang dari bumi ini. Bagaimana tidak, aku adalah 1 dari 3 followingnya.

Hanya ada aku, dan 2 akun komersial yang sebenarnya tidak perlu di follow dan entah kenapa aku hanya merasa spesial.

Padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Baru bertemu saja 2 kali, itu saja tidak berkenan sama sekali.

Dengan cepat aku memberikan pesan lagi kepadanya walaupun yang sebelumnya tidak dibalas.

@SephaTatjiana
Makasih udah follow aku. Salam kenal ya, aku Sepha yang tadi ketemu sama kamu :)

Lagi-lagi, hanya dibaca.

SEPHARO ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang