[Part ini merupakan part dimana sudut pandang berubah menjadi orang ketiga]
"Gimana, setuju ya?" Pinta seseorang yang sedang berhadapan dengan Adik sematawayangnya, Aro.
Hari ini Aro sedang dalam perbincangan serius dengan kakak sundulannya itu yang hanya berbeda 1 tahun jarak umurnya. Aro hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia membenahi peralatan fotografinya yang tadi Ia gunakan untuk memperlihatkan keahliannya itu.
Jadi Aro diajak oleh sebuah sekolah menengah pertama di sebuah kota untuk menjadi fotografer dalam acara graduation di sekolah tersebut. Ari, kakak Aro yang notabene memiliki banyak channel itu akan sangat senang sekali jika adiknya itu bisa mengembangkan bakatnya walaupun hanya memotret acara wisuda.
Aro mengambil notebook yang selalu Ia bawa kemana-mana, yang setiap hari dari Ia kecil sampai sebesar ini selalu menjadi teman setianya. Sekaligus menjadi alat untuk berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya.
Ya, Aro tidak memiliki sesuatu yang orang-orang miliki. Tuhan telah mengambil kemampuannya untuk berbicara bahkan sejak Ia dilahirkan.
Namun hal itu tidak pernah memutus semangat Aro untuk berkarya, buktinya walaupun Ia selama ini homeschooling, ia mempelajari dunia fotografi dari dunia luar juga.
Ri, feedback nya apa buat aku kalo aku ikut ini?
Aro memberikan notebooknya itu kepada Ari. Seperti sudah menjadi kebiasaan, termasuk Ari pun juga sudah terbiasa berkomunikasi seperti ini dengan Aro.
Ari mendongak melihat Aro, "Nanti tetep dikasih upah kok, Ro. Tergantung gimana kamu mengambil angle yang tepat di setiap moment nya. Kamu 'kan katanya mau beli lensa baru tuh, lumayan buat nambah-nambahin tabungan." Ari menepuk pundak Aro dengan penuh perhatian.
Selama ini teman-teman Ari juga mendukung bagaimana Ari merawat adiknya itu. Teman-teman Ari pun juga tidak pernah merasa keberatan harus lebih susah lagi untuk berkomunikasi dengan Aro.
Aro mengangguk lagi, mengiyakan pernyataan Ari dan beranjak untuk pergi ke kamarnya.
Aro berpikir, apakah besok saat acara tidak akan ada yang mengajaknya bicara? Aro khawatir jika besok Aro tidak bisa meladeni orang dengan baik karena ketidakmampuannya berbicara.
Dari kecil, Aro tidak pernah ingin merepotkan siapapun, termasuk kakaknya sekalipun. Bahkan Aro tidak mau belajar bahasa isyarat karena akan menyusahkan orang-orang disekitarnya juga karena harus mempelajari bahasa isyarat juga.
Aro, setegar itu.
♢
Acara wisuda akan segera dimulai. Aro sedaritadi sudah mencari-cari angle yang bagus untuk diambil gambarnya. Ari yang berada tidak jauh dari Aro tersenyum melihat adiknya bergumul dengan dunia luar lagi.
"Ri, itu adek kamu?" Tanya Marissa, salah satu teman Ari yang notabene anak dari kepala sekolah dari sekolahan itu yang merekomendasikan Aro kepada Ayahnya.
Ari mengangguk, "Iya, mirip kan sama aku?" Ari meringis memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Dibalas Marissa dengan sedikit tepukan di pundak,
"Jelas ganteng dia lah. Kamu mah masih kalah, Ri." Keduanya terkekeh, lalu menikmati acara yang akan dimulai sebentar lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEPHARO ✅
Short StorySepha bertemu Aro, lalu keduanya saling mengenal dan bertukar pikiran. Semakin hari Aro menjadi bayang-bayang yang selalu membuat Sepha penasaran. Sedangkan Aro, selalu memiliki cara untuk memikat Sepha dengan hal-hal kecilnya. Lalu bagaimana jika...