Regretful [1]

17.1K 542 5
                                    

Menikah memang bukan perkara yang mudah. Apalagi di usia yang masih cukup muda untuk lelaki yang tengah duduk di hadapan ibunya ini. Usianya masih 25 tahun. Dan ia diminta menikah oleh ibunya.

Yang benar saja. Ia masih ingin menikmati masa mudanya. Masih ingin menikmati dunia yang belum ia kenali. Masih ingin sendiri. Masih belum ingin merasa rumit dengan hubungan jangka panjang. Bagaimana jadinya kalau ia sudah menikah? Membayangkannya saja sudah membuat kepala Barra pening bukan main.

Rutinitasnya akan berubah 180 derajat barangkali. Dan mungkin aktivitasnya akan lebih banyak di rumah. Berdua dengan pasangan. Barra mendesah dalam hati. Meski bukan tipe manusia yang tidak pernah pulang, Barra banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Lalu jika sudah menikah? Apa pasangannya akan memaklumi keputusan dan tindakannya jika ingin bermain dengan temannya?

Barra masih ingin bersenang-senang dengan dunianya. Hanya berdiam diri itu tampak membosankan untuknya.

"Ma, Barra masih belum mau nikah. Umurku juga masih muda." Lelaki itu memijit pangkal hidungnya.

Ratih—Mama lelaki itu bersedekap dada. "Gak ada masalah menikah muda atau tua. Mama mau kamu nikah, Bar. Mama gak suka lihat kamu suka keluar malam, pulang dini hari. Ngapain aja selama di luar? Ibu mana yang gak khawatir anaknya kelayapan gak jelas gitu."

Barra yang mendengarnya memijit pelipisnya. Ingin menyanggah takut berdosa karena melawan ibu yang sudah mengandung, membesarkan dan merawatnya sampai ia dewasa seperti ini.

Tapi kalau masalah menikah, sungguh, lelaki itu tidak ingin menerimanya lebih dulu. Ia masih belum siap menyandang status sebagai suami seseorang.

Mengurus hidupnya saja ia masih belum bisa, bagaimana ia akan mengurus istri dan juga anaknya. Bukan masalah materi yang dipusingkan lelaki itu. Tetapi masalah ia yang akan menjadi imam dan pemimpin di keluarga mereka nantinya.

Akhlaknya masih jauh dari kata baik. Lalu bagaimana cara ia akan merangkul keluarganya. Hah! Benar-benar belum ada dalam angan-angannya pernikahan itu.

"Ayolah, Ma. Barra masih gak mau nikah dulu," tawarnya.

"Kamu harus nikah, Barra!" tegasnya.

"Nanti Barra gak bisa bimbing istri atau anak Barra, Ma."

"Siapa yang minta kamu bimbing istri atau anak kamu? Mama justru kepengin istri kamu yang bimbing kamu buat jadi lebih baik lagi."

Oh, rusak sudah harga diri Barra kalau ia harus dibimbing istrinya. Memangnya menjadi lebih baik itu harus menikah apa? Barra mendengkus kesal.

"Ma, jangan dulu," mohonnya.

"Harus, Barra. Kamu nikah."

"Barra gak punya calonnya, Ma. Barra lagi gak punya cewek."

Memang benar. Selain karena pernikaham belum terbayangkan sama sekali dalam hidupnya, satu masalah lagi hadir. Barra belum memiliki seorang kekasih. Alias jomlo. Ngenes, kan? Barra lupa kapan tepatnya waktu terakhir kali menjadi pacar seseorang dan menjalin hubungan serius.

Ratih berbinar mendengarnya. "Yaudah, kamu Mama jodohin sama anak temen Mama aja."

"Barra gak mau dijodohin!" tolak Barra dengan tegas. Hell no! Hari gini, di tahun yang sudah serba modern pakai acara jodoh-jodohan.

Ratih mendesah kecewa mendengar ketegasan anak satu-satunya menolak rencananya untuk dijodohkan. Lagipula apa buruknya perjodohan? Tidak ada.

"Yaudah, kamu cari calon. Harus dibawa ke rumah buat dikenalin Mama weekend ini," putus Ratih final tidak ingin dibantah.

RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang