Regretful [2]

10.2K 395 2
                                    

Suara dentum musik yang memekakan telinga, menambah pening kepala Barra. Dalam sekali tegukan, Barra menandaskan segelas minuman yang tadi lelaki itu pesan. Saat ini ia sedang berada di salah satu kelab malam. Untuk menjernihkan pikirannya karena permintaan mamanya yang tidak kira-kira itu.

Kembali memikirkannya saja membuat pening kepala Barra bertambah berkali-kali lipat. Bagaimana cara ia menemukan solusi dari masalahnya itu? Haruskah memang diselesaikan dalam sebuah pernikahan?

"Frustrasi bener, Bar? Kenapa, lo? Dari tadi gue perhatiin hela napas lo kayak penuh beban," tanya Sangga, teman Barra.

Sangga sejak tadi berusaha menahan diri. Menunggu Barra sendiri yang menuturkan keluh kesahnya. Tapi melihat temannya hanya menghela napas, memijit kening, dan berakhir menandaskan minuman dalam gelas akhirnya Sangga memutuskan bertanya saja. Siapa tahu Barra kali ini sungkan untuk bercerita.

"Pusing kepala gue, Ga." Barra kembali memijit pelipisnya. Kepalanya sudah nyut-nyut an tidak keruan.

Sangga berdecak. Sontak saja Sangga menggeplak tengkuk Barra. Membuat kepala Barra tersungkur ke meja sambil mengaduh kesakitan.

"Apa-apaan sih lo, Ga?" tanya Barra dengan tidak santainya, matanya sampai melotot.

"Iyalah lo pusing. Orang isi gelas lo aja udah kosong." Sangga sengaja tidak memancing Barra, agar temannya itu sendiri yang bercerita.

"Gue pusing bukan karena minum!"

"Waduh, ada apa ini gerangan? Kok kayaknya mau ada ribut besar."

Barra menatap orang yang baru saja tiba dan mengambil tempat di hadapannya dan juga Sangga. Kontan saja Barra berdecih sinis. Si sibuk dan si jarang punya waktu ini hari ini datang rupanya.

"Nggak sibuk lo?" tanya Barra pada lelaki di hadapannya itu.

"Sibuk, sih. Tapi kawan gue kayaknya lagi sekarat. Makanya nyempetin dateng. Takutnya tiba-tiba besok dapet info anaknya udah lewat aja."

"Sialan!" desis Barra. Ingin sekali rasanya Barra membuat mulut temannya itu terkuci rapat.

"Lo bukannya harusnya lagi syuting, Dam?" tanya Sangga mengingat seharusnya temannya, Edame, ada di Bali untuk mengerjakan sebuah film televisi.

"Yoi. Tapi udah kelar terus gue ambil penerbangan paling cepet. Kan dibilang mau lihat kondisi kawan yang lagi sekarat."

Barra mendengkus. Tapi dalam hati mengucapkan terima kasih banyak karena di tengah kesibukan masing-masing, teman-temannya bersedia menyempatkan diri untuk datang ke sini. Dengan beralasan ia sedang sekarat. Ya ... sekarat jiwanya disuruh mencari calon istri dalam waktu enam hari.

"Terharu gue, Dam. Sini, sini peluk dulu. Mau cium sambil bilang makasih banyak." Barra merentangkan kedua tangannya yang ditanggapi Edame delikan mata super tajam.

"Sekarat kenapa lo, Bar? Mendadak dapet diagnosa dokter kena penyakit seksual menular?"

"Amit-amit!!!" Barra mengetuk kepalanya dan meja sebanyak tiga kali, bermaksud menangkal pertanyaan jahanam yang keluar dari mulut Edame. Tapi Barra tahu Edame bertanya demikian karena di antara mereka, yang paling bejat adalah dirinya. Yang kerap terlibat cinta satu malam hanya dirinya seorang.

"Bocahnya dari tadi cuma diem kayak ayam nelen karet."

Edame terbahak dengan perandaian yang dituturkan Sangga. Sedang Barra sudah biasa dinistakan. Sebab hanya hidupnya saja yang penuh drama. Teman-temannya, mana pernah merasakannya.

Barra mengembuskan napasnya. Menimang apakah ia harus menceritakannya kepada mereka atau tidak. Tapi, kalau ia tidak cerita bagaimana caranya mengatasi masalahnya ini.

RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang