Regretful [6]

6.9K 367 18
                                    

Barra pernah mendengar, manusia boleh berencana perihal masa depan, tetapi untuk ketetapannya Tuhan yang mengabulkan. Dalam masa pendekatan selama tiga hari terakhir ini, dia memang telah membuat rencana. Karena tujuan pendekatannya adalah pernikahan, tentu Barra mengerahkan segala upayanya. Tetapi, rupanya hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan dan diharapkan.

Billa orang yang menyenangkan. Sejauh ini obrolannya dengan perempuan itu nyambung. Hanya saja mereka memiliki tujuan yang berbeda. Ketika Barra menyinggung masalah pernikahan, perempuan itu lebih dulu mengatakan kalau dia tidak sedang berencana menikah dalam waktu dekat.

Kalau sudah diberi ultimatum seperti itu Barra bisa apa selain mengangguk dan tersenyum? Tidak mungkin dia memenuhi kehendaknya sendiri. Tetapi, saat ini yang jadi masalah adalah Barra kembali dipusingkan karena tenggat mencari pasangan sudah habis. Jika besok dia tidak membawa seseorang untuk dikenalan kepada sang mama, sudah pasti rencana mamanya untuk menjodohkan dirinya akan terlaksana.

Sialan!

Barra mengusap wajahnya frustrasi. Jemarinya secara kasar melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher. Kepalanya bahkan berdenyut nyeri memikirkan masa depan yang mungkin akan dilaluinya dengan orang asing yang belum tahu akan cocok dengannya atau tidak, bisa mengimbanginya atau tidak, bisa dia jadikan tempat berbagi keluh kesah dan mungkin dia inginkan memberikan solusi dalam mengatasi masalah.

Karena pikirannya sedang tumpul, entah kenapa Barra hanya terpikirkan akan satu orang. Dengan cepat, Barra meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan salah satu nomor yang ada di riwayat panggilannya.

"Hari ini sibuk nggak? Gue pengin ketemu sama lo. Di kafe dekat kantor lo aja. Gue jalan ke sana sekarang. Nanti gue share ke lo lokasinya kalau udah sampai sana. Nggak apa, nggak usah buru-buru kalau emang kerjaan lo belum kelar. Gue bisa nunggu. Oke."

Setelah mengakhiri panggilan telepon, Barra buru-buru beranjak dari kursinya. Dengan tampang kusut dia meninggalkan kantor sebelum jam pulang kerja. Jika memilih tinggal di ruangannya lebih lama, Barra bersumpah akan muntah karena perutnya sudah bergejolak melihat tumpukan kertas dan layar komputer yang membuat kepalanya makin pening.

***

Barra mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Lelaki itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Barra menghela napas panjang. Matanya melirik pintu masuk kafe. Berharap seseorang yang dimintanya menemui di kafe ini segera datang.

Tapi, sepertinya memang nasibnya sedang buruk hari ini. Sudah setengah jam di dalam kafe ternyata seseorang itu belum datang juga. Barra mendesah pasrah. Ya... salahnya juga. Dia yang memilih kabur lebih dulu dari kantor satu jam sebelum waktu pulang.

"Sori Bar aku datengnya nggak bisa tepat waktu kayak yang kamu minta. Karena memang jam segini aku biasa pulang kantor."

Suara seseorang itu membuat Barra mendengakkan kepalanya. Lelaki itu menarik bibirnya tipis.

"Duduk dulu Ze."

Zevila duduk di depan Barra dengan perasaan tak enak. Apalagi melihat penampilan temannya itu. Membuatnya meringis dalam hati.

"Mau minum apa?" tanya Barra.

Zevila menggelengkan kepalanya. "Kamu kenapa? Kenapa minta ketemu? Ada masalah lagi sama masalah yang kamu disuruh nikah?"

Barra tersenyum kecut. Namun kepalanya lebih memilih mengangguk.

Zevila mengerutkan keningnya. Bukankah kemarin-kemarin Barra sudah mengatakan bahwa dia sedikit merasa cocok dengan Billa? Lalu apalagi masalahnya sekarang?

"Hm, Billa?" tanya Zevila menaikkan sebelah alisnya.

"Anaknya nggak berencana nikah dalam waktu dekat. Ya nggak mungkin gue paksa buat dibawa ke Mama."

RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang