Regretful [10]

6.4K 399 32
                                    

Entah mitos atau memang ujian, Barra yang tadinya tidak percaya dengan gagasan konflik akan timbul menjelang pernikahan mendadak dibuat pusing karena Zevila sudah 2 hari ini tidak bisa dihubungi. Karena menjelang akhir bulan, Barra belum menyempatkan diri menemui wanita itu dan masih disibukkan dengan pekerjaan.

Namun hari ini pengecualian. Jam menunjukkan angka 5 sore dan Barra segera beranjak dari kursinya. Dua kancing atas baju batiknya terbuka, rambut yang biasanya tersisir rapi dan terpoles minyak rambut terurai acak-acakan. Pikirannya keruh. Takut Zevila tiba-tiba enggan menikah dan memilih kabur. Sebelum kepalanya pecah karena pikiran negatif, Barra akan bertandang ke kediaman wanita itu.

Sekali lagi Barra berusaha menghubugi Zevila. Hasilnya nihil. Hanya suara operator yang menjawab panggilannya. Dan Barra luar biasa kecewa.

Kemacetan ibukota semakin membuatnya muram. Dia tidak tahu apa alasan yang melatarbelakangi Zevila bersedia menikah dengannya. Apa wanita itu sedang terlilit hutang dan butuh dukungan finansial, atau hanya merasa iba dengan keadaannya karena tekanan Mamanya untuk segera menikah, atau apa Barra tidak bisa menebaknya.

Tiga puluh lima menit mobil yang dia kemudikan sampai di kawasan Tebet. Karena dia tidak punya akses untuk ke unit Zevila, dan bertanya pada resepsionis ternyata belum tiba, Barra memutuskan menunggu di lobi. Jakarta sedang diguyur hujan lebat. Persis sekali dengan perasaannya yang tiba-tiba mendung. Sayangnya, sampai azan isya berkumandang Zevila tidak kunjung pulang.

Harusnya tadi ke dateng ke kantornya, sesalnya dalam hati.

Tidak berselang lama, pandangannya bertemu dengan wanita yang mengenakan batik bercorak merah jambu dan putih. Wanita itu tampak terkejut melihatnya. Barra berderap mendekati Zevila dengan kening mengerut. Mata wanita itu sembab seperti baru saja menangis. Hidungnya bahkan merah. Belum lagi suaranya terdengar sumbang.

"Aku nggak tahu kamu ke sini."

"Habis nangis?" Barra enggan membalas pernyataan wanita itu.

"Iya."

"Kenapa?"

Zevila hanya mengendikkan kedua bahunya. Keduanya masuk ke dalam elevator yang akan membawanya naik ke lantai 17. Tidak ada orang lain selain mereka. Dan keduanya juga tidak ada yang berniat memecah keheningan.

"Duduk, Bar."

Ini pertama kalinya Barra mengunjungi tempat tinggal Zevila. Rapi, bersih, wangi. Warna abu mendominasi ruangan. Sangat menggambarkan wanita itu.

"Kalau mau minum ambil sendiri ya. Aku mau ke dalam dulu."

Barra menanggapinya dengan dehaman. Satu jam berlalu dan Zevila masih betah di dalam kamarnya. Barra tersenyum kecut. Terakhir kali bertemu dengan Zevila untuk fitting gaun resepsi. Zevila masih baik-baik saja. Barra berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang barangkali tidak dia sadarinya menyakiti Zevila. Merasa tidak menemukan titik terang, Barra menghela napas panjang. Pria itu memilih mengetuk pintu kamar.

"Ze? Masih lama? Aku mau bicara."

Sedetik setelahnya pintu kamar terbuka. Wanita itu sudah selesai membersihkan diri. Rambutnya masih basah. Mereka duduk bersisian di sofa. Gelagat wanita itu tampak resah dan gugup melihat caranya memainkan jemarinya di atas pangkuan. Dalam satu tarikan napas Barra berusaha menenangkan pikirannya.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

Zevila menggeleng.

"Kamu nggak bisa dihubungi 2 hari ini dan bikin aku cemas."

"Aku butuh waktu sendiri."

"Kenapa? Alasannya apa?"

Zevila menghela napas. "Bar..."

RegretfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang