Bebeapa hari sejak soal ngeuh enggak ngeuh, soal pria kaos hitam, Aras tak lagi kirim pesan ke Arum. Pun sebaliknya. Ya ialah! Aras mencoba menahan diri, menahan rindu. Meski ia sakau baca pesan dari Arum. Ia terlanjur memfatwa bahwa rasa jatuh hati itu hanya diberikan padanya, tidak pada Arum. Begitulah pikirannya mendakwa. Wajar, mungkin, baginya, sulit untuk tak berburuk sangka kala diri ingin berbalas pesan, tapi yang didamba justru tak kunjung memberi jawaban.
Tapi, entah apa yang terjadi, tak diduga sama sekali, setelah beberapa hari tak saling layangkan udaran, tiba-tiba, Arum kirimi Aras pesan di chat Facebook. Sontak, Aras buyar. Apa betul dirinya sudah salah sangka. Apakah sebetulnya Arum dianugerahi rasa jatuh hati padanya. Terlalu cepat, pikir Aras, jika ia harus menyimpulakan begitu. Aras sadar, ia mesti menafsir, menggali kemungkinan terburuk. Dari pesan manis sekalipun.
Namun, tanpa sebab yang jelas, kini, tampaknya Aras melunak. Gumamnya, ya sudah, nikmati saja, mau Arum punya rasa yang sama atau tidak.
Akibatnya, pesan-pesan Aras tampak lebih luwes, tak terlalu hati-hati. Dan itu cukup berdampak. Mereka berbalas pesan dengan tawa yang kerap terbit kala keduanya membaca pesan-pesan yang diterima. Mereka bicarakan hal yang, ah sudah lah. Soal, anak ke berapa kamu. Soal sekolah jam berapa. Dan biar cuma soal itu, Aras senang bukan kepalang. Dia memang begitu.
Sayang, ritme seperti itu tak berlangsung lama. Dipuncak kenikmatan mengalirnya berbalas pesan, Aras malah kembali pada tabiatnya, banyak berpikir sebelum melempar kata, memoles tiap ujaran. Dan itu menyumbat keluwesannya, membawa obrolan pada arah yang salah, membuat kekakuannya tampak kentara. Aras kembali pada kebiasaannya menerka, menduga-duga kemungkinan terburuk.
Sedikit lama saja Arum membalas, Aras keringatan dingin. Ia lantas membatin, Adakah yang salah dengan ucapanku? Harusnya tadi enggak bilang gitu atau bla bla bla.
Konyolnya, usai beberapa saat gugup, berpikir yang tidak-tidak, mengira Arum tak akan membalan pesannya, Aras terperanjat kegirangan pas akhirnya datang balasan Arum, seolah tak terjadi apa-apa. Dasar kunyuk!
Tak terasa, seperti itulah berlangsung selama beberapa minggu. Pada beberapa minggu itu pula, buat Aras, tiap detiknya adalah harapan dan penantian. Menunggu balasan pesan dari dia yang, mmhhh, menawan.
Dan begini, katanya, Aras tak lupa yang satu, Tuhan. Ia masih ingat bagaimana romantisnya Tuhan menghadiahkan Arum, pesan-pesan Arum di telepon genggamnya--setidaknya hinggasaat ini, semua Tuhan suguhkan, meski sejumput pertanyaan soal kejelasan apakah Arum diganjar rasa yang sama atau tidak belumlah terjelaskan. Tapi apalah, sebagaimana Tuhan buat Aras berbalas pesan dengan Arum, seperti itu pula Aras belajar untuk membiarkan. Biarkan saja, meski nanti harus mendulang luka, katanya. Hih, kunyuk, merajuk pada Tuhan.
YOU ARE READING
MODOLOG
RomanceHalo semua! MODOLOG bukanlah kitab ideologi. Ini hanya singkatan dari monolog dan dialog. Sesederhana itu. Terkisah, Aras, seorang kunyuk yang kikuk pada wanita. Pria dingin, atau berlagak demikian, yang ingin menjalin hubungan asmara tapi tak puya...