NELANGSA

20 0 0
                                    

Aras yang membuka obrolan. Aras yang selalu mengawali. Aras jadi pengirim pesan pertama. Kemudian, satu dua balasan tiba yang akhirnya terangkumlah sebuah percakapan. Sayang, Aras tak pandai membawa obrolannya jadi begitu asik dan memikat. Obrolan Aras dengan Arum tak pernah cair. Satu dua candaan yang Aras buat, mentah begitu saja. Terkesan dipaksakan dan tak matang. Yang terbayang di benak Aras, kening Arum berkerut nyinyir membacanya.

Dan sayangnya lagi, Arum pun begitu. Memang, bukan dia yang mesti mencipta tensi obrolan menjadi menawan, tapi Aras rasa, tak ada juga upaya darinya untuk membuat obrolan jadi melenakan. Dan itu bukan salah Arum! Aras sudah harus berhati-hati sejak dalam prasangka.

Obrolan memikat itu, maksud Aras, di kala ia dan Arum tak sedang berbalas pesan, ada perasaan rindu untuk menyampaikan sesuatu. Lantas, ketika tak pernah datang pesan pembuka dari Arum, bisa dibaca apa artinya itu. Mungkin ia malu? Tidak. kemungkinan terpahit; Arum tak pernah merindukannya.

Soal menghadirkan atmosfir pikat memikat, Aras harus terus pikul tanggung jawab itu jika ingin Arum tak bosan membalas sapa konyolnya.

Obrolan Aras dan Arum dikatakan memikat jika Arum, dikemudian kesempatan, jadi yang pertama mengirim pesan. Sederhana, itu berarti obrolan sebelumnya memikat hingga Arum tak sabar membuka percakapan. Lagi, itu berarti ada rindu di diri Arum. Mungkin.

Nyatanya, tak sesederhana dan seindah itu. Arum tak pernah kirimi Aras pesan jika tidak ia yang mulai. Kasihan engkau, kunyuk!

Tak sampai di situ penderitaan Aras. Kini, Arum selalu mengakhiri balas-balasan pesan dengan tak membalas. Meski pesan terakhir Aras berupa pertanyaan. Kira-kira alurnya begini, pesan pertama, Aras sapa, Arum balas. Pesan kedua, Aras basa-basi, Arum bermurah hati membalas. Pesan ke tiga ke empat, masih dibalas. Di pesan ke lima, runyam.

Apa arti itu semua? Tengok yang berikut!

Arai, Andrea Hirata dalam bukunya mengisahkan, adalah sang simpai keramat yang seluruh keluarganya meninggal di sebuah pulau kecil. Kemudian datanglah saudara jauhnya, seorang bapak paruh baya bersama putranya, menjemput.

Tentang Arai, ada satu kisah yang bermukim terus di benak Aras, begitu berbekas. Terlepas dari Maudy Ayunda yang memerankan Zakiah Nurmala dalam Film Sang Pemimpi itu, cinta kukuh Arai pada Zakiah Nurmala ini sungguh-sungguh menbius Aras. Samapai-sampai, Aras pikir, definisi cinta muda-mudi itu, ya itu, cinta Arai pada Zakiah Nurmala; teguh, berdaya juang tinggi, sabar, tawakal dan ikhlas.

Aras ingat, dalam filmnya, ada satu scene yang paling ia suka. Waktu itu arai baru keluar dari WC sekolah. Ikal dan Jimbron yang lagi duduk-duduk kemudian meliriknya. "Hey, masih mau kau masuk tempat busuk itu," seloroh Ikal.

Arai abaikan ocehan dua sobatnya itu karena kemudian ia melihat pujaan hatinya, Zakiah Nurmala, tengah duduk manis membaca buku di depan kelas. Dengan senyum Arai melangkah pasti mendekati Zakiah.

Dalam jarak yang diambilnya sembarang, Arai kemudian mengambil kuda-kuda. Bertumpu pada lengan kanan yang ditumpukan pada tiang penyangga atap, Arai beraksi. "Hai Adek cantik, sudilah kau bagi bahagia dengan senyum sikit kenapa," goda Arai.

Zakiah bergeming. Dengan muka gusar, mencemooh Arai, Zakiah angkat kaki masuk kelas. Dengan senang hati, senyum Arai masih merekah.

Aras tak bisa lupa bagian itu. Juga--di novelnya--waktu Arai dengan modal percaya diri membawa sebilah gitar, ia sambangi rumah Zakiah. Kemampuan main gitar yang minim ditambah suara yang pas-pasan, Arai lantang bernyanyi di halaman Rumah Zakiah. Di dalam rumah, mendengar Arai bernyanyi, Zakiah sengaja putar musik dengan volume tinggi, membenamkan suara Arai. Ah sudahlah, soal Arai dan Zakiah itu, pikir Aras, Andrea Hirata mesti menuliskannya dalam satu novel utuh.

Setelah terlintas ingatan akan Arai itu, Aras dengan menggelikannya kirimi Arum pesan, "Hai adek cantik, sudilah kau bagi bahagia dengan senyum sikit kenapa." Persis Zakiah Nurmala, Sili bergeming. Tak ada balasan. Oh Tuhan. Nelangsa engkau, Aras kunyuk!

Entahlah, Aras membatin, semua serba terlajur. Ia terlanjur memulai. Terlanjur berjudi perasaan hingga saling kirimi pesan. Dan yang terakhir itu, pesan "hai adek cantik, sudilah..." itu, tak lain adalah bentuk keterlanjuran, seperti pilihan terakhir di saat Aras merindukan berbalas pesan, namun belum kunjung terjadi. Ya sudah, Aras kirim pesan itu, ke-sok-akraban dan sok-dekatan. Padahal, malangnya, di setiap obraolan yang sudah-sudah, Aras selalu merasa intim.

Jika hendak jujur, semua seperti sudah jelas. Mulai dari pesan yang dibalas hanya beberapa percakapan—bak pergi secara halus nan tak tega tapi sebetulnya jahat sekali. Ditambah Arum yang tak pernah memulai mengirim pesan pertama. Dan yang paling kentara, tak membalas. Artinya? Ya sudah, selesai!

Aras menolak menyerah. Katanya,selalu ada hari esok, dengan lain cerita. Oh kunyuk, sadarlah!

MODOLOGWhere stories live. Discover now