Ragu

14 0 0
                                    

Jika rindu tak terbayar, pesakitan Aras takkan berkesudahan. Ini amat buruk. Tegapnya sedikit-sedikit ditepuk membungkuk. Matanya dipaksa redup. Suaranya pun perlahan disedot hilang.

Perasaan suka Aras digerus pelan-pelan, tapi konstan. Hingga tibalah ia pada sebuah keraguan. Kendati demikian, selanya, bukankah seniman kerap memulai berjalan dalam ragu? Bukankah penyair mulanya pun meragu? Dan bukankah mereka menjadi hebat sebab menyibak tirai keraguan? Bukankah keyakinan baru direngkuh usai tabir ragu disingkap? 

Lantas, bagaimana dengan Aras. Ia sendiri kini dirundung ragu, akan rasanya pada ia yang selalu disertakan dalam doanya, Arum.

Di banyak waktu, di tengah-tengah keraguannya, Aras menggerutu. Katanya, "jodoh itu rahasia Tuhan, tapi aku bisa memilih untuk seorang yang aku perjuangkan. Siapa  tahu kalau yang diperjuangkan itu adalah ia yang Tuhan siapkan. Arum kah ia? Sepantas apa ia aku perjuangkan? Atau barangkali, sepantas apa aku untuknya hingga mesti berjuang?"

Kalimat terakhir yang terlanjur tergerutukan membuat dirinya sendiri sakit hati.

Aras masih berdo'a, menginginkannya. Meski semuanya masih teramat abu-abu. Dan ya, Aras tetap  melakoni peran. Walau terseok.    

MODOLOGWhere stories live. Discover now