Bab 4

2.6K 178 8
                                    

Aku tak ingin mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Istikharah sudah kulakukan dan jawabannya tak seperti yang kuharapkan. Sejak kemarin, entah kenapa aku gelisah memikirkan jawaban untuk orang asing itu. Entah kenapa wajahnya selalu hadir dalam ingatanku.

Inikah jawaban?

Aku tak ingin mengambil keputusan dengan cepat karena ini mengenai kehidupanku selanjutnya. Aku yakin, ini salah satu rencana Allah dan aku harus tetap sabar dan berhati-hati mengambil keputusan. Akan lebih baik aku musyawarah dengan abang-abangku. Keputusan yang diambil secara musyawarah insya Allah akan mendatangkan keberkahan. Aku harus menemui Bang Umar. Aku pun tak tahu apa reaksi Bang Umar jika mengetahui orang asing itu ingin menikahiku.

Ya Allah, jangan biarkan hamba tenggelam dalam prasangka buruk.

Setelah muroja'ah dengan santri selesai, aku bergegas meninggalkan kelas untuk menuju rumah Bang Umar. Aku takut keputusanku terlambat, mengingat besok orang asing itu akan kembali ke negaranya. Aku tak tahu kenapa, aku begitu serius menanggapi ucapannya. Bisa saja dia hanya bercanda mengatakan hal itu padaku, tapi hatiku mengelak dengan pikiran burukku.

Aku melangkah cepat menuju rumah Bang Umar karena semakin aku memikirkan hal ini akan semakin membuatku terjebak dalam prasangka. Semoga beliau ada di rumah karena ini waktu makan malam.

"Assalamu'alaikum." Aku mengetuk pintu rumah Bang Umar.

"Wa'alaikumusalam."

Terdengar jawaban salam dari dalam. Itu suara Kak Anis.

Aku tersenyum ketika pintu rumah terbuka.

"Salwa. Ayo masuk." Kak Anis membuka pintu lebar agar aku masuk.

Aku pun masuk. "Bang Umar ada?" tanyaku, sambil mengikuti langkah Kak Anis.

"Ada. Lagi makan sama anak-anak. Kamu sudah makan?" tanya Kak Anis.

Aku mengikuti langkahnya menuju ruang makan. "Nanti saja sama santri. Salwa tunggu di ruang tengah saja. Biar Bang Umar selesai makan dulu." Aku menolak halus dan membelokkan arah kakiku ke ruang tengah.

"Ya sudah, nanti Kakak bilang sama Bang Umar." Kak Anis meninggalkanku ketika aku sudah terduduk di ruang tengah.

Aku tak tenang menanti kedatangan Bang Umar. Aku takut jika beliau akan memiliki masalah dengan orang asing itu ketika Bang Umar mengetahui masalah ini.

Ya Allah, kenapa aku terus berpikiran buruk. Astagfirullahal'adzim.

"Kenapa, Wa?"

Aku terkesiap ketika Bang Umar bertanya padaku secara tiba-tiba. Aku menghela napas tenang dan mengeluarkannnya perlahan.

"Salwa mau ngomong sesuatu sama Abang." Aku tersenyum pasrah.

Bang Umar duduk di seberangku. "Masalah apa?" Bang Umar menatapku santai.

Ya Allah, kuserahkan semuanya hanya pada Engkau.

"Orang asing itu ..., maksud Salwa, Edward. Dia kemarin nemuin Salwa dan bilang kalau dia ingin menikahi Salwa." Aku menunduk.

"Edward? Mau nikahin kamu?" Bang Umar terdengar kaget.

Aku mengangguk. "Dia minta jawaban besok, karena dia akan pulang ke Prancis jika Salwa menolak, dan dia tidak akan terkesan lagi dengan agama kita. Salwa pikir, dia hanya bercanda dengan ucapannya, tapi jawaban istikharah Salwa justru berbalik. Dia hadir dalam mimpi Salwa, semalam. Salwa harus gimana? Dia benar-benar akan memberikan apapun yang Salwa mau jika Salwa mau menerima dia. Abang tau jika dia non muslim dan Salwa semalaman memikirkan masalah ini. Jika Salwa menolak dia, berarti Salwa membiarkan dia untuk kembali pada agamanya. Dan jika Salwa menerimanya, Salwa ingin dia menjadi mualaf. Salwa harus gimana, Bang?" Aku sangat bingung.

Ikhwan MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang