Sejak lulus dari pondok, aku menyibukkan diri dengan mengajar di TPQ. Tapi orang tuaku menghawatirkan hafalanku karena sibuk mengajar anak-anak TPQ sehingga pendapat mereka, aku melalaikan hafalan-hafalanku. Kini aku sibuk belajar sambil mengajar anak-anak santri yang baru masuk ke pondok putri di pondok yang baru diresmikan beberapa bulan yang lalu. Pondok ini tak luas karena hanya dikhususkan untuh menghafal Al Qur'an saja. Abi sengaja menyarankan aku untuk mengajar di sini agar hafalanku tidak hilang sekaligus aku membantu ustadzah-ustadzah di sini untuk menyimak hafalan para santriwati. Itu pun atas musyawarah Bang Umar, Bang Yuda dan Bang Hamzah. Abi melarangku belajar ke Kairo karena beliau tak ingin aku jauh dari keluargaku. Aku memahami kehawatiran beliau, karena aku adalah putri semata wayangnya sekaligus putri bungsu mereka. Aku menerima apa yang Abi katakan karena beliau adalah surgaku saat ini. Beliau sangat menyayangiku dan aku menyayangi beliau, ummi, dan kakak-kakakku. Mereka adalah anugerah terindah dari Allah.
Aku bergegas menuju ruangan Bang Umar untuk memberikan laporan hafalan santri. Aku sekilas menatap map yang sedang kupegang, tapi tiba-tiba seseorang menabrakku. Laporan yang sudah kususun rapi di dalam map, jatuh bertebaran di atas lantai. Aku pun bergegas memunguti lembaran kertas itu agar tidak kotor dan hilang.
"Maaf." Suara laki-laki kudengar meminta maaf. Bahkan aku baru menyadari jika seorang laki-laki yang menabrakku.
Kepalaku terangkat dan pandanganku bertemu dengannya.
Astagfirullahal'adzim. Allahumma inni a'udzubika min fitnati rijal.
Aku segera menunduk, memunguti lembaran kertas dan merapikannya ke dalam map.
Siapa dia? Apa yang dia lakukan di sini? Dia seperti bukan orang sini.
Aku harus segera ke ruangan Bang Umar karena tak baik di sini berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Aku pun segera berlalu setelah semuanya rapi.
"Tunggu!"
Aku menghentikan langkahku.
Kudengar langkahnya menghampiriku. Aku semakin menunduk.
Apa yang dia inginkan?
"Kamu bisa membantuku? Aku sedang mencari seseorang." Dia menyodorkan sebuah kertas padaku.
Aku menerima dan membaca nama orang yang tertera di dalam kertas beserta alamat. Tertera nama Bang Umar. Alamatnya pun pondok ini.
Darimana dia mendapat alamat pondok ini? Apa dia mengenal Bang Umar?
"Apa ini benar alamat yang ada di kertas itu?" tanyanya mengalihkan perhatianku.
"Iya," kataku, "tapi maaf. Anda siapanya Pak Umar?" tanyaku.
"Saya temannya waktu di Kairo," katanya.
Teman Bang Umar di Kairo?
"Apa dia ada di sini?"
Aku terkesiap lalu mengangguk. "Akan kuantar Anda keruangan Pak Umar." Aku mulai melangkah dan orang asing itu pun mengikutiku.
Beberapa santri menunduk padaku dan aku hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Apa Anda Guru di sini?" tanyanya. Mungkin melihat santri menunduk sopan padaku.
Aku hanya menggeleng. "Bisa Anda tunggu sebentar di luar?" kataku padanya, ketika kami tiba di depan ruangan kakakku.
"Baiklah," sahutnya singkat.
Aku pun memasuki ruangan Bang Umar. "Assalamu'alaikum," sapaku, ketika sudah berada dihadapan kakakku.
"Wa'alaikumussalam," sahut Bang Umar yang sedang sibuk menatap laptop.
"Bang, ada tamu nyariin Abang," lanjutku padanya sambil menyodorkan map berisi dokumen hafalan santri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhwan Mualaf
RomanceKeberanianmu, menantang keimananku. Pengorbananmu, meluluh lantakkan hatiku. Cinta sucimu, melembutkan sanubariku. Syahadatmu, menggetarkan qolbuku. Wahai Sang Mualaf. Aku tak tahu, kenapa aku menerimamu. Kau begitu berani menemuiku, meski kau bukan...