Aku tidak pernah takut mengenai jodoh, karena aku yakin masalah jodoh sudah Allah tulis di setiap buku hamba-Nya. Aku pun yakin, jika Abi akan mencarikanku jodoh terbaik. Abi tidak memberitahuku karena beliau tidak ingin berharap lebih pada akhi Farid. Aku tidak akan berharap akhi Farid adalah jodohku, tapi aku hanya berharap pada Allah, semoga Allah memberiku jodoh terbaik. Aku tak ingin ambil pusing masalah ini karena nantinya akan berdampak pada konsentrasiku mengajar. Aku hanya ingin agar Bang Umar tidak memberitahu Abi perihal surah dari Mas Farid.
Aku memasuki rumah Bang Umar sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Masuk, Wa." Kak Anis menyahutiku dan menyuruhku masuk.
Aku bergegas masuk, menuju ruang tengah. "Bang Umar belum pulang, Kak?" tanyaku, mendapati rumah masih sepi.
"Sudah. Tapi lagi keluar sama Adam, katanyanya mau ke toko sembako," sahut Kak Anis dari arah dapur.
"Kak Anis lagi bikin apa?" tanyaku, mendekat ke arah dapur.
"Ada orang aqiqah, dagingnya buat hikmad santri." Kak Anis menoleh ke arahku sekilas sambil mengaduk masakan yang ada di atas kompor.
Rezeki untuk santri pondok memang tak pernah habis. Selalu datang rezeki silih berganti. Daging, roti, minuman, cemilan, atau sesuatu lain yang dapat di konsumsi santri. Alhamdulillah, insya Allah ada keberkahan unjuk para pejuang ilmu.
"Apa nih, yang bisa Salwa bantu?" Aku menawarkan bantuan.
"Nggak usah, ini sudah mau selesai." Kak Anis tersenyum.
Aku mengangguk. "Salwa nunggu di luar yah, Kak." Aku bergegas meninggalkan dapur.
Aku duduk dikursi panjang yang ada teras rumah Bang Umar. Aku menonton santri putra yang sedang bermain bola. Bagi santri yang tidak mengikuti kelas tambahan tahfidz, maka pada sore hari mereka memiliki waktu luang untuk bermain.
"Ehm ... ehm ... Apa aku mengganggumu?"
Aku seketika menoleh dan kudapati laki-laki asing itu menatapku.
Astagfirullahal'adzim. Aku segera membuang wajah dan beristigfar berulang kali. Kenapa aku selalu bertemu dengannya?
"Bisakah Anda tidak menggangguku sekali saja?" tanyaku. Baru saja aku berhenti memikirkan dia, tapi entah kenapa dia selalu hadir ketika aku di area pondok putra.
"Ada hal penting yang ingin kukatakan." Dia mendekatiku dan duduk di ujung kursi yang kududuki.
Aku lekas berdiri dan akan berlalu masuk.
"Tunggu! Aku hanya ingin berbicara denganmu!"
Langkahku terhenti, tak menoleh ke arahnya. "Dua lawan jenis dalam agamaku dilarang berduaan karena yang ketiganya adalah syaitan," ucapku tenang.
"Aku ingin menikahimu."
Detak jantungku seakan terhenti mendengar ucapannya.
Apa aku mimpi? Dia ingin menikah denganku?
"Akan kulakukan apapun yang bisa kuusahakan untuk menikahimu."
"Kita berbeda keyakinan, kamu tahu itu. Dalam agamaku di larang menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Maaf, saya tidak bisa." Aku bergegas masuk ke dalam.
"Salwa!!!"
Ya Allah, ujian apalagi ini?
"Siapa, Wa?" tanya Kak Anis dari dapur.
"Nggak tau, Kak. Mungkin santri." Aku terpaksa berbohong pada Kak Anis. Aku segera keluar dari rumah, takut jika orang asing itu berbuat macam-macam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhwan Mualaf
RomanceKeberanianmu, menantang keimananku. Pengorbananmu, meluluh lantakkan hatiku. Cinta sucimu, melembutkan sanubariku. Syahadatmu, menggetarkan qolbuku. Wahai Sang Mualaf. Aku tak tahu, kenapa aku menerimamu. Kau begitu berani menemuiku, meski kau bukan...