Tak ada keraguan terbesit di hatiku. Tidak ada kata 'mundur' untuk saat ini. Tinggal beberapa hari lagi menuju ijab qobul. Aku hanya berharap, semoga Allah meridhoi semua ini. Aku tidak banyak berharap apapun mengenai semua ini. Aku melakukan semua ini hanya untuk Allah. Untuk kebaikan Kak Ali memeluk agama islam. Untuk melengkapi setiap kekurangan yang ada pada dirinya. Aku memang mengharapkan lelaki yang sepaham denganku atau yang lebih tinggi ilmunya dariku, tapi aku tak bisa menolak takdir dari Allah. Jodohmu kualitas amalmu, mungkin itu benar. Mengenai aku dan Kak Ali, kurasa Allah memiliki tujuan lain. Tak semua yang kuharapkan Allah ridhoi. Aku menerima semua ini asal Allah meridhoi. Dan aku tak akan menyesali apa yang sudah Allah takdirkan untukku. Aku pun mengabaikan omongan orang mengenaiku. Mengenai pilihanku memilih Kak Ali. Kenapa aku tidak memilih lelaki yang lebih berilmu di atasku. Aku tak peduli mengenai pertanyaan mereka karena jawabannya hanya satu. Aku serahkan semua takdirku hanya pada Allah. Aku sudah berusaha dan berdoa, tinggal menunggu keputusan dari Allah. Dan inilah keputusan yang harus kuterima. Menerima keseriusan seorang 'mualaf'. Apa aku salah? Semua bisa menjadi mungkin apabila Allah sudah berkehendak. Aku siap untuk menjadi pelengkap kekurangannya.
"Lagi mikirin apa?"
Aku segera menoleh ketika Abi membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum. "Nggak mikirin apa-apa, Bi. Cuma masih nggak nyangka aja."
"Insya Allah, pilihan kamu yang terbaik selama kamu taat pada Allah." Abi menatapku dengan senyuman.
"Salwa nggak enak sama Pak Samingun." Aku menunduk.
"Mungkin Farid bukan jodoh kamu, Wa."
"Salwa mau ngomong sesuatu sama Abi, tapi Abi jangan marah atau punya pikiran buruk sama Mas Farid." Aku menatap Abi.
Sebenarnya aku ragu mengatakan hal ini pada Abi."Emang ada apa?" tanya Abi, menatapku serius.
"Pak Samingun sudah tau kalau Salwa mau menikah?" tanyaku pada Abi sebelum membahas masalah surat dari Mas Farid.
"Abi sudah minta maaf dengan beliau dan beliau insya Allah tidak merasa tersinggung. Seperti yang Abi bilang tadi, mungkin Farid belum berjodoh denganmu."
Aku bernapas lega mendengar kabar ini. Semoga saja Mas Farid juga tahu mengenai semua ini."Kenapa, Wa?" tanya Abi.
"Sekitar tiga minggu yang lalu Mas Farid kirim surat ke pondok buat Salwa. Dia minta Salwa buat nunggu dia sampai dia lulus dari pondok, tapi sampai sekarang Salwa belum balas surat dia karena Salwa takut terjadi hal-hal yang tidak Salwa inginkan." Aku berterus terang pada Abi.
"Semoga saja Farid sudah mendapat kabar dari Pak Samingun mengenai pilihan kamu. Abi minta maaf karena nggak kasih tau kamu mengenai maksud Pak Samingun ingin menjodohkan kamu dengan Farid. Abi sengaja nggak kasih tau kamu karena Farid masih mondok dan belum ada kepastian kapan dia akan lulus. Abi nggak mau membicarakan sesuatu yang belum pasti. Abi takut kamu nggak fokus mengajar." Abi terlihat menyesal.
Aku tersenyum. "Insya Allah, Salwa paham. Abi pasti tau mana yang terbaik buat Salwa."
Terdengar azan ashar berkumandang.
Alhamdulillah. Beberapa hari yang lalu aku mulai menjalani puasa. Puasa untuk menahan hawa nafsu dan meminta pada Allah agar semuanya di permudah.
"Ya sudah, Abi mau ke masjid shalat jamaah." Abi beranjak dari duduknya.
Aku hanya mengangguk. Setelah itu, aku pun berlalu menuju kamar untuk menunaian shalat ashar. Tinggal menghitung hari, orang-orang sibuk mempersiapkan pernikahanku. Aku memang tidak meminta pernikahanku dilaksanakan secara mewah. Cukup ijab qobul dan mengundang saudara saja itu sudah cukup bagiku. Aku tidak ingin membuat semua orang repot menyiapkan pernikahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhwan Mualaf
RomantizmKeberanianmu, menantang keimananku. Pengorbananmu, meluluh lantakkan hatiku. Cinta sucimu, melembutkan sanubariku. Syahadatmu, menggetarkan qolbuku. Wahai Sang Mualaf. Aku tak tahu, kenapa aku menerimamu. Kau begitu berani menemuiku, meski kau bukan...