Hati merasa tenang ketika mendengar hafalan Al-Qur'an santriwati. Rasa takjub hadir apabila ada santriwati yang begitu semangat menghafal Al-Qur'an begitu cepat. Aku merasa iri apabila salah satu santriwati ada yang menghafal begitu cepat dari target ustadzah. Terkadang, aku penasaran dengan amalan orang tuanya, sehingga anaknya dapat menghafal begitu cepat. Banggalah orang tua yang menjadikan anaknya hafidz, karena bukan hanya dapat menolong orang tuanya saja, tapi orang tua yang menjadikan anaknya hafidz akan di berikan mahkota dan pakaian yang cahayanya melebihi cahaya matahari. Dan keutamaan seorang hafidz yang lain adalah, dia dapat membebaskan sepuluh anggota keluarganya dari dalam neraka. Subhanallah.
Seperti tugasku pagi ini, menyimak hafalan santriwati setiap pagi. Minimal, setiap hari ada kemajuan dari hafalan santriwati.
"Assalamu'alaikum."
Konsentrasiku terganggu ketika mendengar kalimat salam. Aku segera menoleh sambil menyahuti salam," Wa'alaikumussalam." Aku tersenyum ketika mendapati Kak Aminah menghampiriku.
"Di suruh Ustadz Umar keruangannya," lanjut Kak Aminah.
Aku mengangguk dan lekas berdiri. Kak Aminah pun menggantikan posisiku. Setelah mengucapkan salam, aku segera berlalu menuju ruangan Bang Umar.
Ada apa beliau memanggilku? Apa ada masalah dengan pembukuan santriwati?
Aku keluar dari asrama santriwati menuju ruangan Bang Umar yang terletak di dalam pondok santri putra. Aku sebenarnya malas jika harus ke sana, karena pasti akan menemui orang asing itu. Aku harus segera menemui Bang Umar.
"Assalamu'alaikum." Aku mengetuk pintu ruangan Bang Umar. Syukur, aku tidak bertemu dengan orang asing itu.
"Wa'alaikumussalam. Masuk, Wa." Bang Umar menyambut salamku dan menyuruhku masuk.
Aku pun memasuki ruangan Bang Umar. Dan ternyata orang asing itu ada diruangan Bang Umar. Aku hanya menghela napas sabar, lalu duduk di seberang meja Bang Umar.
Semoga dia tidak menggangguku seperti tempo hari. Sampai kapan dia akan terus di sini. Astagfirullahal'adzim. Salwa, dia tamu Abang-mu, tak seharusnya kamu berpikir seperti itu.
"Ada surat dari Jombang. Atas nama 'Farid'." Bang Umar menyodorkan sepucuk surat padaku.
Aku menerima surat itu.
Farid? Dari Jombang?
"Mister. Ini bukan sakit apa-apa. Ini cuma gatal-gatal biasa."
Aku menoleh ke arah orang asing itu yang sedang mengobati santri. "Dia kenapa, Bang?" tanyaku. Tatapanku masih menatap santri dan orang asing itu. Maksudku, Edward.
"Abang sudah kasih tau Edward kalau itu bukan gatal-gatal penyakit, tapi Edward memaksa buat ngobatin santri." Bang Umar menjelaskan dengan nada pelan.
"Abang nggak jelasin?" Aku menatap Bang Umar.
"Gimana Abang mau jelasin kalau dia tak sepaham sama kita?" lanjut Bang Umar.
Aku menghela napas, beranjak dari duduk, mendekati orang asing itu. "Apa yang Anda lakukan?" tanyaku.
Dia menoleh. "Mengobati anak ini," sahutnya, lalu kembali fokus mengobati santri itu.
"Itu bukan gatal-gatal penyakit. Itu gatal-gatal yang biasa dialami santri dan nggak lama lagi akan sembuh sendiri," kataku menjelaskan.
"Bagaimana mau sembuh kalau tidak diobati?"
"Salwa. Lebih baik kamu kembali ke pondok putri." Bang Umar menegurku.
Aku terpaksa menurut. "Assalamu'alaikum." Aku melangkah keluar dari ruangan Bang Umar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhwan Mualaf
RomanceKeberanianmu, menantang keimananku. Pengorbananmu, meluluh lantakkan hatiku. Cinta sucimu, melembutkan sanubariku. Syahadatmu, menggetarkan qolbuku. Wahai Sang Mualaf. Aku tak tahu, kenapa aku menerimamu. Kau begitu berani menemuiku, meski kau bukan...