Aku tak tahu keputusanku benar atau salah, karena aku hanya menjalani takdir dari Allah melalui istikharah. Satu minggu ini, aku benar-benar gelisah dengan keputusanku. Aku puasa senin-kamis, shalat istikharah , dan amalan lain untuk menghilangkan keraguanku. Aku yakin semua ini takdir dari Allah, tapi setan selalu menanamkan benih kegelisahan dalam hatiku. Semoga seminggu ke depan Allah mudahkan urusanku dan memberiku petunjuk. Aku yakin, jika Kak Ali jodohku, maka Allah akan memberiku petunjuk. Jika dia bukan jodohku, maka Allah akan menjauhkan dia dariku. Ya. Abi memberi nama hijrah Kak Edward menjadi 'Ali'. Kata Abi, dia pemberani, tangguh dan siap berkorban. Aku teringat cerita Bang Umar mengenai proses hijrahnya. Dia benar-benar melakukan prosesi hijrah dengan sempurna. Semoga dosa-dosanya digugurkan Allah dan Allah beri dia pahala karena kesungguhannya menjadi mualaf. Bagaimana perkembangan dia saat ini? Satu minggu aku tak melihatnya karena aku memang sengaja menghindari darinya agar dia fokus dengan amalannya. Semoga dia mudah mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan padanya. Ya Allah, kenapa aku terus memikirkannya?
Allaahumma innii as-alukat tuqoo wal hudaa wal 'afaafa wal ghinaa mauta 'alal islaami wal imaani. Aamiin.
Aku meraih ponselku untuk menghubungi Bang Umar. Hari ini, Ummi menyuruhku pulang karena untuk persiapan. Panggilannya tersambung, tapi tak diangkat. Apa Bang Umar lagi sibuk? Apa aku ke rumahnya saja?
Aku meraih ranselku dan beranjak keluar dari kamar. Aku sudah pamit pada semua santriwati dan para ustadzah. Aku segera memasuki area pondok putra setelah menutup pintu pagar yang terhubung dengan pondok putri. Suasana sudah sepi karena sudah masuk jam pelajaran. Aku segera menuju ruangan Bang Umar. Langkahku terhenti ketika mendengar hafalan Al-Qur'an santri baru. Ingatanku langsung tertuju pada orang yang selalu hadir dalam pikiranku. Kira-kira dia dimana? Biasanya dia hadir dihadapanku ketika aku ke sini. Astagfirullah. Kenapa aku jadi memikirkan dia?
Aku berjalan menuju ruangan Bang Umar.
"Assalamu'alaikum." Aku mengetuk pintu ruangan Bang Umar disertai salam.
"Wa'alaikumussalam." Terdengar jawaban salam serempak. Seperti ada suara Abi.
Aku bergegas masuk dan ternyataan pendengaranku tak salah. Ada Abi di ruangan Bang Umar. Aku menghampiri beliau dan mencium punggung tangannya. "Tumben Abi di sini pagi-pagi?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.
"Abi mau ke Bandung sama Abang dan Yuda." Bang Umar menyela.
"Nanti kamu pulang dianterin Pak Samsudin. Abi nanti pakai mobil Yuda." Abi menimpali.
"Ada acara apa sih, Bi? Tumben semuanya pada ke sana?" tanyaku penasaran.
Abi menghela napas. Raut wajahnya terlihat ada sesuatu yang beliau pikirkan. Aku masih menatap Abi menanti jawaban dari beliau.
"Pondok cabang di gugat sama anak yang mewakafkan tanah itu." Bang Umar menyahuti pertanyaanku.
"Kok bisa?" tanyaku spontan.
"Karena nggak ada surat tertulis. Nggak ada saksi. Tapi, sertifikat tanah ada sama Abi." Bang Umar menambahi.
"Tanah wakaf di gugat? Dia nggak takut adzab Allah?" Aku sedih mendengar masalah ini.
"Ya, mungkin karena dia nggak paham agama." Bang Umar pun terdengar sedih.
"Yang sabar yah, Bi. Semoga Allah kasih jalan terbaik dan Allah mudahkan masalah ini." Aku menatap Abi sedih.
"Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Kamu bantu doa yah?" Abi tersenyum menatapku. Beliau menutupi risaunya dengan senyuman.
"Insya Allah, Bi." Aku hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhwan Mualaf
RomanceKeberanianmu, menantang keimananku. Pengorbananmu, meluluh lantakkan hatiku. Cinta sucimu, melembutkan sanubariku. Syahadatmu, menggetarkan qolbuku. Wahai Sang Mualaf. Aku tak tahu, kenapa aku menerimamu. Kau begitu berani menemuiku, meski kau bukan...