[ S ] - saatnya Menata Hati, atau....?

21.9K 4K 909
                                    

***

Baru tiga hari lalu Salsa menyuntik sugesti ke pikiran bahwa dia akan baik-baik saja. Perasaan kosongnya kemarin hanya semu. Dia pikir, setelah bangun pagi, semuanya akan kembali normal. Dia pikir, Ikbal benar-benar tidak berpengaruh besar pada perubahan mood-nya; tidak bicara dengan Ikbal, akan sama rasanya seperti diam-diaman dengan Naomi di kantor: tidak ada pengaruh apa pun.

Salsa justru ketakutan misalnya ia bersiteru dengan Derian atau Fauzi, karena dua orang ini adalah penyumbang tawa. Sementara Ikbal? Bukan siapa-siapa. Toh, sehari-harinya lelaki itu seperti batu mati.

Tapi... anggapan Salsa tergelincir. Dia dibuat tidak nyaman oleh cara Ikbal memperlakukannya. Meski dia meminta Ikbal untuk berhenti, bukan berarti Ikbal harus seekstrim itu menjauhinya kan?

Ikbal akan berdiri dan meninggalkan makanannya ketika Salsa masuk ke ruangan yang sama; memasang pelantang dan memutar keras volume music saat Salsa bciara atau tertawa. Yang paling ekstrim, hari ini, Ikbal ... menyerahkan surat resign!

"Saya nggak akan tandatangani ini. Silakan ambil surat ini dan balik kerja!"

Salsa dan beberapa karyawan memasang telinga. Meski berkonsentrasi dengan laptop masing-masing, tapi sesekali, mereka masih melirik ke ruangan Januar.

"Maaf, saya nggak bisa," tolak Ikbal.

"Nggak ada kontrak apa pun yang mengikat saya. Jadi, memilih berhenti atau melanjutkan kerja di sini adalah hak saya sepenuhnya, Pak."

"Kamu kok gak pernah ngomongin ini di rumah? Kamu anggap apa Papa ini, Bal?" Suara Januar meninggi. Sikap profesionalnya menghilang. Padahal, Salsa tahu sejak awal laki-laki itu selalu mengenyampingkan hubungan darah di kantor dan tak suka mengaktifkan panggilan Papa.

"Papa bilang gak boleh bawa urusan kantor di rumah. Pun sebaliknya. Lagian, Papa tau, dari awal bergabung dengan Gigi Kita, Ikbal nggak janji untuk tetap jadi karyawan Papa sampai tua. Ikbal juga ingin berdiri sendiri."

"Tapi bukan berarti kamu keluar dengan cara ini! Kamu nggak menghargai saya? Nggak menghargai perusaan ini?" Kembali Januar berbicara dengan gaya formal

"Justru karena saya menghargai, jadi saya mengikuti semua prosedur yang berlaku dengan mengajukan surat resign. Tapi, sebagai karyawan, saya sudah professional menyelesaikan semua tanggung jawab. Sebagai anak, Ikbal ingin berlepas sepenuhnya dari Papa. Ini bagian dari mandiri. Mohon pengertiannya, Pa. Saya minta dibebaskan, Pak."

Saat Ikbal keluar, karyawan yang menguping tampak gelagapan. Ruangan yang tadinya sepi, jadi riuh kembali diisi oleh percakapan pura-pura.

Berbeda dengan yang lain, Salsa malah memerhatikan Ikbal terang-terangan hingga punggung itu menghilang di balik pintu.

"Gi kenapa Ikbal mau brenti?" Si mulut jurnalis-Fauzi-sudah lebih dulu bertanya. "Gajinya kurang?"

Gigi tertawa. "Kayaknya mau focus sama CV-nya. Dia kan bikin CV dari tahun lalu sama temannya. Tahun ini mereka dapat proyek pertama, jadi kayaknya mau konsen di sana."

"Oh yang di Bogor itu, Gi?" sambung Mas Tito.

"Iya."

"Terus? CV kamu apa kabar, Gi? Ada rencana mau focus ke sana?"

Salsa tak lagi mendengar apa yang diobrolkan teman-temannya. Dia sibuk memikirkan sikap Ikbal. Betul memang Ikbal tipe orang yang jarang bercerita apa pun rencananya, tetapi, rasanya keputusan ini terlalu mendadak. Salsa yakin pasti ada alasan kuat di balik ini semua. Tapi... apa? Apa ini ada hubungannya dengan penolakan Salsa malam itu?

Dictionary Of Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang