Secarik kertas digengaman gadis itu berubah wujud tak karuan. Ia meremas kertas bertuliskan permintaan maaf dari seorang kawan lama. Tidak! Ia tidak akan memaafkan penulis surat itu. Ia lemparkan kertas itu sembarangan. Itu merupakan kertas yang entah keberapa berakhir tragis.
Namanya Diva. Ia memliki masa lalu yang tidak mengenakkan akibat perbuatan si penulis surat. Diva akhirnya berhasil membuat orang itu benar-benar merasa bersalah. Kini, ia kerap kali menerima ucapan-ucapan permintaan maaf darinya. Namun ibarat pintu gerbang yang tertutup rapat dan terkunci yang mana kuncinya tidak ada lagi, hatinya benar-benar tertutup. Tertutup untuk memaafkan orang itu.
Diva melanjutkan aktivitas kesehariannya dan membuang jauh-jauh kenangan menyesakkan itu. Ia harus melanjutkan hidupnya. Tak baik jika ia terlalu berlarut-larut menyesali sesuatu yang sudah terjadi.
Satu hal yang Diva lupakan, pintu gerbang yang terkunci pun masih bisa dibuka paksa. Barangkali kedepannya pintu hati Diva juga begitu.
***
"Div, aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu dalam banyak hal, termasuk hubunganmu dengan dia."
Diva menoleh kearah temannya itu dan terkekeh. "Yakin kau tidak memiliki rasa dengki atau keinginan untuk merebutnya dariku?" tanya Diva tiba-tiba. Ia sendiri sedikit terkejut dengan apa yang ia lontarkan.
Temannya tertegun sejenak, lantas menjawab, "Tidak! Untuk apa aku dengki ataupun ingin merebut kepemilikan sahabatku. Bukankah itu jahat sekali, Div?"
Diva mengangguk. Kemudian ia rengkuh temannya itu dalam pelukan. "Terima kasih banyak, Sa. Kamu memang teman terbaikku."
"Yakin cuma teman? Bukannya sahabatmu?" Sasa bertanya menggoda. "Aaah, kamu!" Diva berseru tepat di dekat telinga Sasa. Hal itu membuat Sasa berontak melepaskan pelukan Diva.
Bagai diputar di sebuah layar, kenangan itu muncul di depan mata Diva. Ia berulangkali mencoba mencegahnya, tapi apa daya semua itu seperti diputar otomatis dan tidak bisa dihentikan.
Omong kosong! Maki Diva dalam hati. Semua itu omong kosong. Tak ada bukti kongkrit yang mendukung ucapan Sasa. Justru Sasa lah yang menjadi orang pertama yang mejegal kebahagiaan Diva. Ia merebut posisi untuk duduk di kursi pelaminan bersama kekasih Diva. Itu sungguh memuakkan.
Meski sudah berlalu kurang lebih satu tahun sejak pernikahan mereka, Diva masih merasakan perih saat mendengar nama mereka. Perikahan itu adalah hal paling buruk sepanjang sejarah kehidupannya. Kemudian Diva memilih untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dengan alasan mengembangkan bisnis yang sedang ia jalankan, Diva pindah ke kota lain. Mengembangkan bisnis keluarga yang telah diserahkan kepadanya.
Bisnis kue yang menggeliat dengan pasti itu menjadi tempat Diva melarikan diri dari rasa sakit. Kue-kue itu menjadi pelipur duka yang efektif baginya. Ia lebih suka berkutat dengan clemek dan adonan kue.
Sudah berkali-kali Sasa meminta maaf padanya. Tak satupun yang Diva pedulikan. Namun sampai kapankah Diva akan terus tidak peduli? Diva sendiri juga tidak tahu pasti. Mungkin suatu saat ada seseuatu yang mampu meruntuhkan benteng ketidakpeduliannya.
***
Bunyi telepon genggam membuat Diva menggeliat dari tidurnya. Ah! Ia mengeluh sambil mencari-cari sumber suara tersebut. Mata yang masih setengah terpejam membuat tangannya tidak mudah menemukan posisi telepon. Baru sedetik kemudian ia dapat menjangkau telepon genggam itu. Namun tepat sebelum ia mengangkatnya, dering handphone itu berhenti. Ia sudah berniat untuk melemparkan kembali handphonenya, tapi benda itu kembali berbunyi. Dengan sedikit malas-malasan ia menempelkannya ke telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StorySaya akan posting beberapa cerpen di Kumpulan Cerpen. Saya menerima kritik dan saran.. yaang mau vote juga silakan. Buat yang sudah menyempatkan membaca cerpen-cerpen saya, memberikan kritik, saran, dan vote terima kasih yaa.. ^_^