Lelaki di penghujung senjanya, dengan helai-helai rambut yang mengelabu,
duduk di belakang gerobak dorong bermuatan abu gosok. Melepas mentari menuju
peraduannya. Pandangannya tampak menerawang. Sementara aku berjalan
melewatinya tanpa terpikir apa-apa. Melenggang begitu saja. Kemudian terbesit
untukku menyapa. Kucoba mengeluarkan kata, menembus bisingnya derum tak
beraturan suara kendaraan.
“Jualan apa, Pak?” tanyaku mengawali.
“Abu gosok, Nak. Mau beli kah?” Ia melontarkan tanya yang kusambut dengan
anggukan meskipun aku tidak memiliki ide, untuk apa abu gosok itu nantinya. Lakilaki tua itu dengan tangan keriputnya perlahan membungkuskan abu. Ia masukkan ke
plastik dan disodorkannya padaku.
“Berapa harganya, Pak?” tanyaku
“Tiga ribu Rupiah, Nak.”
Kuserahkan selembar uang bergambar Tuanku Imam Bonjol padanya.
Kemudian ia merogoh kantong mencari kembalian untukku. Namun hasilnya nihil. Lirih
ia berkata, “maaf, Nak. Tidak ada kembalian.
“Tak apa, Pak. Buat Bapak saja kembaliannya,” kataku. Ia nampak keberatan
tapi akhirnya mau menerimanya. Aku melanjutkan bercakap dengannya hingga
terpetik suara seruan untuk menegakkan Sholat Maghrib. Wajah rentanya menunduk.
Ia tampak menelan ludah. Jakun tuanya naik turun. Tampak rindu akan siraman air
pelepas dahaga.
“Bapak puasa?” tanyaku. Ia mengangguk. Kemudian kuserahkan sebungkus
makanan dan sebotol air minum yang tadi memang kubeli untuk berbuka puasa.
“Ini, Pak. Tadi kebetulan saya beli makanan lebih,” kataku dengan sopan.
Sejenak ia ragu untuk menerimanya. Namun, aku sedikit memaksakan agar ia mau
menerima. Ia menerimanya sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Kemudian
aku pamit meninggalkannya.***
Senja ini, aku tengah menikmati tenggelamnya mentari dari balik jendela lantai
24 salah satu gedung di Ibu Kota dengan penuh syukur. Di tanganku tergengan
sebungkus abu gosok yang kubeli kala itu. Sayup-sayup kembali kudengar
percakapanku dengan laki-laki penjual abu gosok beberapa tahun silam. Wajah
tuanya bersama gerobak abu gosok kembali membayang di depan mata.
“Laa haulla wa laa quwwata illaa billaah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah, Nak,” jawab laki-laki itu ketika kutanya apa yang
menjadikannya tetap bertahan berjualan meskipun sudah berusia lanjut.
“Setiap kekuatan, setiap harta, setiap prestasi yang kita miliki itu atas campur
tangan Allah, Nak. Dan juga rizki datang ketika kita mau berusaha, itu yang
membuatku tidak mau menegadahkan tangan di jalanan. Setidaknya aku masih
mampu memberikan kemanfaatan dengan abu gosok ini, Nak,” lanjutnya. Hatiku
merasa tersentil. Selama ini aku mengklaim apa yang kumiliki adalah atas usaha
sendiri dan melupakan campur tangan Allah SWT. Aku malu, sungguh aku malu. Malu
melihat orang yang setua itu saja masih mau berusaha sedemikian rupa untuk
menggapai rizki-Nya. Sedangkan aku merengek-rengek dan bermalas-malasan tapi
maunya hidup enak.
Nasihat lelaki itulah yang menjadi salah satu pengantar aku berada di sini. Di
sebuah gedung yang menjulang tinggi. Yang dari atasnya aku bisa memandang
seluruh Ibu Kota dengan leluasa. Yang dulu hanya bisa kusaksikan dari televisi hitam
putih di pos ronda.
Beruntung Allah SWT mempertemukan aku dengan laki-laki itu. Atau
barangkali Allah sengaja menegurku melalui penjual abu gosok itu. Entahlah, yang
pasti kejadian itu mampu membuatku berubah. Dan setiap mengingat hal itu aku juga
tersenyum sendiri. Karena kejadian itu membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Bukan karena instrospeksi diri tapi karena sejujurnya aku tidak membeli makanan
lebih dan selembar uang lima ribu itu adalah lembar terakhir yang ada didompetku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StorySaya akan posting beberapa cerpen di Kumpulan Cerpen. Saya menerima kritik dan saran.. yaang mau vote juga silakan. Buat yang sudah menyempatkan membaca cerpen-cerpen saya, memberikan kritik, saran, dan vote terima kasih yaa.. ^_^