Cerpen 8 : [Bukan] Mata Biasa

4K 56 3
                                    

Kata orang, datangnya cinta itu dari mata turun ke hati. Dan menurutku itu benar adanya. Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Matanyalah yang membuatku jatuh cinta. Bola matanya yang bulat dengan iris yang berwarna coklat terang membingkai sempurna pupil mungilnya. Bulu matanya yang lentik dan tatapan matanya yang tajam namun sarat dengan kelembutan. Semua itu membuatku jatuh cinta sekaligus iri. Iri karena mataku tak seindah matanya.

 “Aku suka matamu.” Kataku terus terang.

“Dan aku suka apa yang aku lihat darimu dengan mataku.” Jawabnya penuh misteri. Maksudnya? Aku tak mengerti apa maksud dari ucapannya tadi. Dan dia tak mau repot-repot memberitahuku.

            Aku suka matanya. Teramat suka. Dan kau tahu, ternyata ia tak pernah menyukai matanya. Kenapa? Karena matanya bukan mata biasa. Matanya luar biasa.

            “Kamu tahu? Aku tak pernah menginginkan mata ini. Lebih baik aku buta daripada harus punya mata ini.” Ia berkata dengan nada kesal.

            “Kenapa kau berkata seperti  itu?”

            “Karena ini bukan mataku.”

            “Lalu mata siapa kalau bukan matamu?” aku bertanya keheranan.

            “Chorina, dulu aku ini buta. Tak secuilpun kehidupan ini dapat kulihat. Sampai akhirnya ada seseorang yang mau mendonorkan matanya untukku. Sejak saat itu aku bisa melihat. Aku bisa melihat apapun. Bahkan hal-hal yang tak seharusnya aku lihat. Apapun yang kulihat dengan mata ini aku tak pernah suka. Kecuali satu....”

            “Apa?”  Tanyaku memotong ceritanya.

            “Kamu. Kamulah satu-satunya hal yang aku suka melihatnya dengan mata ini.”

Aku terdiam. Tak tahu apa yang harus aku katakan. Aku tersipu malu tapi ada rasa bahagia yang perlahan menyusup ke dalam relung-relung jiwaku. Dan perlahan tapi pasti ada semburat merah jambu yang muncul di pipiku.

Pada lain kesempatan, ia menceritakan apa yang ia lihat dariku.

“Memandangmu itu selalu menyenangkan.” Ucapnya mengawali pembicaraan.

“Kenapa?”

“Karena aku melihat ketulusan di matamu, kelembutan disetiap gerakmu dan kebahagiaan yang selalu mengiringi langkah kakimu.” Ia berhenti sejenak. Aku menunggu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya. Lalu, ia bertanya, “Apakah kamu tahu bahwa kau selalu diikuti oleh sepasang kupu-kupu?” Aku menggeleng. Aku tak pernah tahu kalau aku diikuti sepasang kupu-kupu. Kemudian, ia menunjuk sepasang kupu-kupu yang hinggap di samping tempat duduk kami.

“Kedua kupu-kupu ini selalu mengikuti kemanapun kamu pergi. Dan satu hal yang kamu harus tahu, kupu-kupu itu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Lalu apa lagi yang kau lihat dariku?” Tanyaku penasaran.

“Aku melihat bahwa kau ditakdirkan untuk menjadi jodohku.”

***

            Siang ini, dunia berkabung. Langit mendung dan sang raja siang enggan menampakkan diri. Mataku membengkak sebesar bola tenis. Aku terlalu lelah untuk menangis. Sudah cukup banyak air mata ini tumpah mengiringi kepergiaanya. Dia telah pergi meninggalkan dunia fana ini. Meninggalkan aku sendiri dengan sejuta tanya tentang dirinya. Ku antarkan ia sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku ingin memastikan dia tenang di tempatnya sekarang.

            Aku mengutuk keadaan. Pada saat aku merasa bahagia karena ia ada di sisiku, selalu ada untukku. Mengapa Tuhan setega ini mengambil dia dari sisiku? Aku tak akan sanggup menjalani lika-liku kehidupan ini tanpanya. Tanpa mata ajaibnya.  Ini tidak adil. Ini tidak adil. Ini tidak adil. Aku merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan terlalu egois. Teganya mengambil dia tanpa permisi. Mengambil dia secara tiba-tiba. Terlalu mendadak.

            Masih kuingat jelas pesan terakhirnya, “Chorina, belajar makna kehidupan itu lebih sulit daripada belajar ilmu pengetahuan di sekolah formal. Teruslah belajar dan jangan pernah menyalahkan keadaan, meskipun aku tak lagi berada di sisimu. Berjanjilah, Chorina! Berjanjilah padaku!” kala itu aku hanya mengangguk menyanggupi. Tak kuduga akan serumit ini menerima keadaan tanpa dia di sisi. Padahal aku sudah berjanji padanaya. Ah, semoga saja ia memaafkanku atas semua ini.

Aku mengurung diri di kamar. Panggilan ayah dan ibu tiada pernah ku hiraukan. Makanan yang ibu antarkan untukku tak secuilpun ku sentuh. Aku tidak ingin makan, aku tidak ingin berbicara dengan ayah dan ibu, aku hanya ingin bertemu dia. Entah berapa hari aku mengurung diri di kamar, sampai akhirnya ada sebuah kejadian yang mengejutkanku. Dari jendela kamarku, ku lihat dua titik cahaya berwarna biru. Cahaya itu semakin dekat dan semakin dekat menuju ke mataku. Aku ketakutan. Tapi cahaya itu terus mendekat dan akhirnya masuk ke kedua mataku. Seiring dengan masuknya cahaya itu, aku tak sadarkan diri.

Di dalam ketidaksadaranku, sepertinya aku bermimpi. Bermimpi bertemu dia. Dia datang dengan wajah berseri dan senyum manisnya. Sedangkan aku dalam keadaan menangis. Ia membelai rambutku.

“Chorina, bukankah kau sudah berjanji padaku? Mengapa engkau mengingkari janjimu. Tidakkah kau ingat perkataanku?”

“Aku ingat, selalu ingat. Tapi tidak mudah melepaskan kepergianmu begitu saja. Apalagi kamu pergi terlalu mendadak.”

“Ingatkah kamu siapa penulis favoritmu?”

“Ya, tentu saja aku ingat. Darwis Tere Liye.”

“Bukankah ia pernah berkata,  apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan. Lalu, mengapa akal sehatmu menghilang? Membuat kamu berani melawan takdir Tuhan. Itu salah, Sayang. Teramat salah. Tidak seharusnya kamu melawan Tuhan. Dia yang menciptakan aku, engkau dan apapun yang ada di dunia ini. Jadi, sudah haknya untuk mengambil kembali apa yang diciptakannya. Tidakkah kamu mengerti, Chorina?”

“Maafkan aku. Aku terlalu menyayangimu. Itulah yang membuat aku sulit untuk mengikhlaskan kamu pergi. Aku terlalu terbiasa ditemani kamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.”

“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Aku mohon padamu, belajarlah menerima keadaan, sesulit apapun keadaan itu. Jangan pernah salahkan Tuhan. Karena Tuhan selalu adil. Selalu. Percayalah, Chorina! Terkadang hanya kitalah yang tidak merasakan keadilan itu. Semua itu karena kita tidak pernah merasa cukup. Mengertilah, Sayang! Aku harap setelah pertemuan ini kamu akan menjadi lebih dewasa. Lebih ikhlas menerima apapun yang Tuhan takdirkan untukmu. Jangan lagi kamu menangisi kepergianku. Aku tidak butuh dan tidak suka tangisanmu. Tersenyumlah!”

Aku tersenyum. Ya, aku merasa apa yang dia katakan sepenuhya benar. Akulah yang egois. Akulah yang tidak mau menerima keadaan. Beraninya aku menyalahkan Tuhan. Aku makhluk yang tak tahu bersyukur. Oh, Tuhan maafkan aku ini.

“Oh, ya. Satu lagi. Mulai saat ini matamu akan berfungsi seperti mataku.”

“Mengapa seperti itu?”

“Bukankah kau kedatangan dua titik cahaya biru?”

“Iya.”

“Gunakanlah matamu dengan bijak. Semoga engkau menjadi orang yang pandai mensyukuri keadaanmu. Tenang saja, kau masih bisa bertemu denganku. Tapi tidak setiap saat aku akan berbicara kepadamu. Aku hanya akan berbicara untuk mengingatkan kamu.”

“Baiklah. Terima kasih sudah datang untuk mengingatkan aku.”

“Sama-sama. Sekarang pulanglah! Orang tuamu menunggu.” Ia tersenyum. Dan aku pulang, kembali ke duniaku. Dunia di mana orang tuaku berada.

Aku kembali dengan pola pikir yang baru. Aku siap menerima takdir Tuhan, serumit apapun takdir-Nya. Aku telah menerima kepergiannya. Dia memang mati, tapi matanya hidup. Matanya hidup di dalam mataku. Dan kata-katanya melekat di memori otakku. Menjadi semangatku. Aku melihat dia lebih bahagia di sana daripada di sini. Selamat jalan, Sayang! Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia dan tunggu aku menyusulmu. J

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang