Cerpen 9 : Prahara Cinta

2.9K 31 3
                                    

Matahari cukup menyengat kulit ketika  Ali menarik tangan Sasa sambil berlari-lari kecil memasuki sebuah kedai kopi lokal di pinggir jalan raya.  Agak sedikit terengah tetapi  mereka tertawa bersama, bahagia.  Mereka memesan dua gelas kopi dingin dan duduk di pojokan menikmati sejuknya ruangan ber-ac. Sejenak terdiam, menikmati kopi masing-masing. 

Kemudian Ali menatap Sasa dengan senyuman yang sulit untuk diartikan maksudnya.  Tapi matanya sedikit menerawang. 

"Sa,  besok Diva ulang  tahun. Menurutmu hadiah apa yang harus kuberikan padanya?"

Sasa terhenyak,  tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu. Sesak rasanya hati Sasa. Saat mereka bersama, mengapa harus membicarakan Diva.  Tak bisakah membicarakan mereka saja.

"Seikat bunga krisan putih kesukaanya barangkali bisa menjadi pilihan," saran Sasa sekenanya.

"Ah ya benar,  Diva sangat suka bunga  krisan," timpal Ali.
"Aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Diva,  apakah besok saat yang tepat?" gumam Ali seperti bertanya pada dirinya sendiri.  Tapi ucapan itu cukup membuat Sasa tersedak. 
"Kenapa, Sa?" tanya Ali tanpa dosa.
"Ah tidak," jawab Sasa sambil terbatuk-batuk.

Jadi selama ini, bukan aku?  Tanya Sasa dalam hati.

Sasa pura-pura mengecek ponselnya.  Kemudian berkata pada Ali,  "Ali,  aku harus pergi sekarang ada urusan yang harus aku selesaikan."

"Oh,  kenapa terburu-buru, Sa?"
Namun Sasa tidak menjawab dan bangkit dari kursinya lantas meninggalkan  Ali.
Ali mengucapkan hati-hati kemudian meneruskan khayalannya tentang Diva. 

***

Sasa memasuki kamarnya dengan lunglai.  Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit dengan tatapan meradang. Seolah langit-langit itu menampilkan kejadian-kejadian yang telah lalu.  Awal ia berkenalan dengan Ali.  Kemudian menjadi teman dekat. Waktu yang telah mereka habiskan bersama, hingga muncul kenangan pada hari dimana ia pertama kali mengenalkan Ali pada Diva,  karib perempuannya.  Ah andai Sasa menyadari sejak hari itu lah, Ali menaruh hati pada karibnya.  Tiba-tiba saja Sasa menyesali hal itu. Menyesali saat ia mengenalkan Ali pada Diva.  Sasa merutuki dirinya sendiri.  Ia menangis tanpa suara. Tapi nasi sudah menjadi bubur,  waktu tak dapat diulang kembali,  pun perasaan Ali tak dapat digoyahkan.  Hanya pada Diva ia menambatkan hatinya.  Tak ada gunanya Sasa memaksakan diri. 

***

Esok harinya, hari ulang tahun Diva.  Sasa merayakan ulang tahun Diva bersama beberapa keluarga Diva.  Pesta kecil yang meriah.  Wajah-wajah bahagia menghiasi hari spesial Diva.  Kemudian pintu rumah Diva diketuk,  Sasa berbaik hati mebawarkan diri membuka pintu.  Sasa mau tidak mau terkejut ketika mendapati Ali di depan pintu dengan seikat besar bunga krisan putih.  Sasa mencoba bersikap biasa saja dan mempersilakan Ali masuk.

"Diva,  lihat siapa  yang datang!" seru Sasa.

Diva menoleh dan melihat Ali. 
"Hai,  Ali. Selamat datang," ucap Diva.
"Selamat ulang tahun, Diva," ucap Ali sambil menyerahkan bunga krisan dan kotak kecil hadiah untuk Diva.
"Terima kasih, Ali."

Di hari itu,  di hadapan Sasa dan keluarga Diva, Ali menyatakan niatnya untuk berkomitmen bersama Diva.  Mungkin terlalu berani, tapi pengakuannya mengesankan bagi keluarga Diva.  Diva terkejut tapi ada binar bahagia  di matanya.  Sementara Sasa meradang menyaksikan semua ini.  Hatinya teriris. Pedih.

Orang tua Diva menyerahkan semua keputusan di tangan putrinya.  Diva sejenak berfikir sebelum akhirnya dengan malu-malu mengangguk.  Menyetujui permintaan Ali.  Ali mengucapkan syukur dan mencium  tangan kedua orang tua Diva.  Sisa waktu kebersamaan mereka menjadi bertambah kebahagiaan kecuali bagi Sasa.  Baginya,  setiap detik yang berjalan  terasa lama.  Dan setiap detik yang berlalu,  ia berusaha menikam rasa sakitnya.  Ia juga berusaha pura-pura bahagia di depan mereka.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang