Cerpen 10 : Catatan yang Tak Usai

5.6K 55 3
                                    

Namaku Mawar, bukan nama sebenarnya, seorang penulis amatir yang semangat menulisnya pasang surut. Meskipun begitu, aku sudah menulis beberapa kisah yang berujung dinikmati sendiri. Salah satu kebiasaan dalam menuliskan kisah adalah menyiksa tokoh dalam kisah itu. Bukan menyiksa secara fisik, melainkan menyiksa mereka dengan perasaan. Menyenangkan sekali membuat mereka jatuh cinta dengan tokoh lain atau membuat mereka menduga-duga perasaan tokoh lain. Juga menyiksa mereka dengan perasaan rindu karena terpisah jarak ataupun membuat mereka patah hati. Puas sekali rasanya menyaksikan mereka menderita. Tak jarang mereka memprotes jalan cerita yang kutuliskan. Namun, aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.

Konon perasaan cinta itu indah untuk dituliskan, indah untuk dibaca, tapi tidak terlalu indah dirasakan. Aku tidak tahu kebenarannya. Sampai suatu ketika, sebuah peristiwa tak terduga terjadi padaku. Aku jatuh cinta. Ku ulangi sekali lagi, AKU JATUH CINTA. Setidaknya ini adalah definisi jatuh cinta berdasarkan novel romansa yang banyak kubaca.

Dia bukan orang yang baru aku kenal. Aku mengenalnya tujuh tahun yang lalu dan berkawan baik hingga beberapa hari yang lalu, sebelum perasaanku berbalik arah menjadi cinta. Jujur saja aku tidak tahu pasti kapan perasaan itu tumbuh. Mungkin bermula dari pertemuan kami dengan beberapa kawan yang lain. Lantas mereka menggoda aku dengan dia. Ah entahlah. Yang aku tahu, setelah itu duniaku seakan lebih berwarna. Tempat-tempat yang semula pernah ku kunjungi dan biasa saja juga terasa lebih indah saat kembali dikunjungi bersamanya. Dan saat pulang kerumah senyumnya membayang di pelupuk mata. Pun percakapan kami terasa terngiang di telinga.

Entah bagaimana mulanya, kami memutuskan untuk bertemu kembali pada akhir pekan berikutnya. Bahagia? Ya aku sangat bahagia. Janji temu itu cukup membuatku tersenyum dan bersemangat menjalani hari sampai akhir pekan. Ah duniaku terasa indah, tiba-tiba bunga bermekaran sepanjang jalan. Hari yang cerah. Aku tidak pernah menduga, jatuh cinta akan seindah ini. Dan dari kejauhan tokoh-tokoh ceritaku menertawakan diri ini. Namun aku tidak peduli.

Akhir pekan yang dijanjikan tiba, kami berjumpa. Membicarakan banyak hal, dan menghabiskan permulaan malam dengan menyenangkan. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, penuh dengan buncahan rasa bahagia. Sayang, waktu berjalan dengan cepat kami harus kembali berpisah. Pun esok hari aku harus kembali ke Ibukota untuk mengais rejeki.

Pada malam keberangkatanku ke Ibu Kota, sebuah pesan masuk melalui ponsel. Sebuah pesan untuk  berhati-hati dan menjaga diri dari dia. Dan pesan itu seolah menjadi janji bagiku untuk menjaga diri hingga kami berjumpa kembali pada kesempatan berikutnya.
Ternyata jatuh cinta indah pada awalnya. Sayang, hari-hari berikutnya aku hanya diselimuti dengan perasaan gundah gulana. Perasaan kuat untuk ingin menghubungi dan mengetahui kabar darinya. Sungguh tidak mampu untuk menahan diri. Sangat disayangkan dia sama sekali tidak mengirimkan pesan padaku. Sedangkan aku terlalu gengsi untuk memulai percakapan.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah perasaan ini hanya tumbuh sepihak? Apakah hanya aku yang gundah menanti perjumpaan berikutnya? Apakah cintaku hanya akan bertepuk sebelah tangan? Aku mulai melontarkan tanya itu kepada kawan-kawan dan tokoh fiksiku. Mereka menggeleng tak tahu. Hanya memberikan nasihat-nasihat agar bijak bersikap menghadapi virus merah jambu.

Sampai pada suatu titik, aku berbincang dengan salah satu tokoh fiksiku. Aku memanggilnya, Ping.

"Ping, apa yang harus aku lakukan?"

Ping hanya diam dan menyandarkan tubuhnya padaku. Menggeleng pelan dan berucap, "kita tidak pernah tahu."

"Tapi lihatlah, bukankah dia masih sama seperti dulu dalam memperlakukanmu?" lontarnya.

Aku termenung. Dia memang masih sama saja memperlakukanku seperti selama tujuh tahun pertemanan kami. Aku, yang kala itu hanyalah gadis kecil ingusan yang baru memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Dia memperlakukanku seperti adik kecil yang layak untuk dilindungi. Bahkan sekarang di usiaku yang sudah menginjak kepala dua masih dianggap seperti anak kecil. Padahal aku merasa sudah bertumbuh. Menjadi gadis dewasa setengah matang, mandiri, dan sedikit berpenghasilan. Ah, lupakan bagian berpenghasilan. Intinya aku merasa aku sudah dewasa dan pantas untuk dipertimbangkan sebagai calon istri.

"Ya, itu kan perasaanmu, Mawar," ucap Ping menamparku.

Air mata menetes dari kedua mataku. Air mata rindu bercampur putus asa.

"Ternyata rasanya semenyakitkan ini," ucapku lirih.

"Kini kamu merasakan, kan? Bagaimana tokoh-tokoh ciptaanmu menanggung semua penderitaan yang kau ciptakan," kata Ping.

"Maafkan aku," ucapku tulus.

"Bersabarlah, jika dia memang ditakdirkan untukmu, dia akan kembali padamu. Jika tidak, kau akan menemukan seseorang yang lebih baik."

"Tapi dia yang terbaik menurutku," tegasku.

"Menurutmu. Menurut-Nya belum tentu. Sadar lah!" bentak Ping.

Aku bungkam. Menatap sekelebat bintang jatuh. Lantas melontarkan pinta, Tuhan jika dia memang ditakdirkan untukku, dekatkan kami dengan caraMu. Jika tidak, jauhkan kami dengan caraMu.

"Hey Mawar! Mengapa tidak kau jadikan cerpen saja kisahmu ini," kata Ping.

"Yeah, kau benar. Akan kutulis, siapa yang mau jadi tokohnya nih?" lontarku pada tokoh-tokoh cerita ciptaanku. Mereka memalingkan muka. Seperti muak melihatku.

"Kenapa tidak kau jadikan dirimu sendiri sebagai tokoh?" lontar mereka.

"Baiklah, jika itu mau kalian."

Mereka bersorak gembira menyaksikanku yang semakin merana.

***

2019

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang