Terima Gue (Alan's POV)

25 2 0
                                    

Gue menghembuskan napas lega. Latihan hari ini berjalan mulus, semulus pahanya Syahrini. Tinggal beberapa kali latihan lagi buat moles aransemen sama nambahin sedikit improvisasi, dan beres! Kami berempat udah siap tempur.

"Good job, guys. Temponya dijaga ya, Lan," kata Albert sambil menghampiri gue yang duduk di belakang drum.

"Siap, Bos. Laksanakan," jawab gue lalu memasang sikap hormat.

"Melodi elu bagus, Den," puji Albert tulus. "By the way, kita jadi menggarap yang kayak konsep elu tadi?"

"Jadi, dong," Denis mengangguk mantap. "Semua setuju, 'kan?"

Gue sama Albert menjawab kompak, "Setujuuu!!"

"Elu gimana, Tif?" tanya gue pada Latif yang sedari tadi nggak bersuara.

"Tif? Ya ampun ..."

Kami bertiga nutup muka berjamaah karena ngelihat kelakuan cewek spesies Latif Tahi Lalat ini. Dia naik kursi, bersandar di jendela sambil tangannya goyang-goyangin HP ke luar teralis.

"Elu ngapain, Tif? Ntar kalo ada apa-apa, kita bertiga yang diamuk kembaran elu," kata Albert panik.

"Ssstttt! Kebelet online, nih!"

Dasar korban iklan.

Gara-gara ini, kami para laki-laki teman satu band-nya kena jitakan maut khas Lambang dan tausiyah panjang lebar dari Taufik. Plus cap "nggak becus ngejagain cewek" dan penguntitan ketat sampai puncak Dies Natalis sama Hilal.

>>>***<<<

Pulang dengan oleh-oleh benjol di kepala sebesar telur dinosaurus made by Kembar Tahi Lalat, gue, Albert, dan Denis berjalan di lorong sambil mengelus-ngelus kepala masing-masing. Untuk beberapa saat kami ngobrol nggak jelas. Tentang Albert si Jomblo Fighter yang tiap malam mampir ke Indoslamet cuma biar dapet ucapan "Selamat malam, selamat berbelanja" dari karyawannya. Tentang Denis yang coba-coba nelan kapsul vitamin tanpa air, tapi ujung-ujungnya malah tersedak dan isi kapsul itu meluncur bertebaran lewat lubang hidungnya. Sampai cerita gue digodain banci dan hampir diajakin dia kencan waktu gue manggung di alun-alun.

Si Banci Alun-Alun itu bilang, gue yang punya alis tebel dan kumis tipis ini bikin dia meleleh seleleh-lelehnya. Dengan berani, dia nempel-nempel dan beberapa kali colak-colek dagu gue. Dia terus ngejar-ngejar gue bahkan ngotot pengen ikut gue pulang. Setelah gue bilang kalo gue ini psikopat yang cuma tertarik membantai banci-banci sejenis dia, barulah dia ngelepasin pelukannya di lengan gue dan langsung ngibrit cantik.

Gue, Albert, dan Denis ketawa-ketiwi sebentar, lalu berpisah di tikungan.

Sewaktu melewati kelas, gue nggak sengaja ngelihat sesuatu yang berwarna-warni. Penasaran, gue ngintip lewat celah pintu.

Napas gue tertahan. Sosok yang selama ini berhasil nyuri perhatian gue, sedang berdiri menyempurnakan sebuah lukisan berukuran besar. Lukisan yang sempurna, sebanding dengan pelukisnya. Ah, entahlah, gue nggak pandai menyusun kata-kata sok puitis.

Gue terus memperhatikannya, tanpa ada keinginan untuk berpindah seinchi pun. Tangannya lincah bergerak, tanpa merasakan kesulitan yang berarti meskipun kanvas itu lebih tinggi darinya. Semangatnya yang tinggi, kemandirian, kecerdasan, dan ketegasannya seolah ia curahkan lewat warna-warna lukisannya yang kuat. Empat hal itulah yang membuat gue menyukainya setengah mati.

"Alan?"

Gue tersentak kaget. Alih-alih kabur karena ketahuan ngintip, gue malah membuka pintu sambil menjawab panggilan yang berasal dari mulut mungil itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kalang Kabut ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang