Namanya Dea

885 59 39
                                    

"De, Ayah pulang nih!" seorang laki-laki 40 tahun tampak kusut dengan tas khas pegawai kantor.

Gadis yang dipanggil berjalan cepat menuju pintu, celemek masih melekat di tubuhnya menandakan dia baru saja berada di dapur. Kemudian gadis bercelemek memutar kunci pintu yang sejak tadi telah berada di knopnya. Wajah lusuh laki-laki berperawakan 40-an menampakan raut kelelahan telah berdiri di depannya.

Dijabat serta diciumnya punggung telapak tangan laki-laki itu lalu berucap. "Ayah, kok baru pulang? Ini sudah jam berapa?" tanya gadis bercelemek penasaran.

Yang ditanya justru menyelonong masuk tanpa aba-aba. Dijatuhkannya tubuhnya duduk di atas sofa putih yang telah menguning karena lama dimakan waktu. Laki-laki bernama Hardi itu mengendurkan dasi yang terasa mengikat lehernya. Lalu menyandarkan tubuhnya.

"Buatkan Ayah kopi!" pintanya dengan suara parau lusuh.

Gadis bernama Dea itu menuruti permintaan Hardi dengan senang hati. Selang 2 menit, secangkir kopi hitam sudah tersaji di depan meja.

"Ayah belum jawab, kenapa baru pulang?" Dea ikut duduk di sebelah Hardi.

"Ayah disuruh lembur, soalnya tadi Boss Ayah yang gendut, kumisnya kaya lele itu marah-marah. Katanya omset memurunlah, pegawai kurang rajinlah, ujung-ujungnya, Ayah yang dikambing hitamkan." Hardi menjawab sekenahnya dengan kekesalan yang ketara.

Namun, bukannya merasakan apa yang dimaksud, lawan bicaranya justru tersenyum geli.baginya, laki-laki yang telah berkepala 4 di  sampingnya mengeluh layaknya anak 4 tahun yang baru saja terkena hukuman oleh gurunya.

Melihat Dea yang tersenyum geli, Hardi menatapnya dengan bingung sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja dialami Dea. Mungkin dia lelah, Atau mungkin stress!

"Kamu kenapa? Malah senyum-senyum sendiri!" gerutu Hardi masam.

"Hihi.. Ayah lucu, kaya anak TK yang kena hukum sama kepala sekolahnya yang gendut.. Hihi." Dea menahan tawanya sebisa mungkin.

Terang saja, wajah Hardi memerah padam. Benar juga, dirinya seperti anak kecil, balita. Namun perkataan Dea juga menggelitik perutnya. Sambil tersenyum Hardi mengacak-acak rambut Dea. "Kamu itu, mirip sekali Bundamu!" ujar Hardi diselingi rasa gemasnya.

"Ayah, jangan! Nanti rambut Dea kusut!" protes Dea. "Dea kan anak Bunda, pasti miriplah!" tambahnya.

"Jadi, bukan anak Ayah?" sarkas Hardi.

"Hehe.." Yang ditanya justru cekikikan kemudiam memeluk Ayah tercintanya. "Anak Ayah juga kok!" sambungnya.

Memang tiada pelepas lelah bagi seorang Ayah melainkan anaknya. Begitupun bagi Hardi, hidup berdua bersama Dea pun dia cukup bahagia meski tanpa seorang istri.

"Sudah lama ya, Ayah." Dea kemudian berucap pelan.

"Lama?" jawab Hardi tidak mengerti.

Dea melepas dekpannya.

"Sudah lama Bunda pergi. Dea rindu Bunda, Ayah rindu juga?"

Pertanyaan Dea menyentak hati Hardi sangat keras. Ini pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir Dea menanyakan hal demikian. Jika ditanya apa dirinya rindu, jelas dia sangat merindukan istrinya.

"Iya, Ayah juga rindu Bunda kamu." Hardi berucap lirih.

Tepat hari ini, 11 tahun kepergian istrinya. Hardi masih kerap merasakan rindu yang menyiksa batinnya. Setiap malam harus tidur sendirian, mengurus anak serta rumahpun dilakukannya seorang diri. Beruntungnya dirinya, Dea sudah membantunya sejak beranjak SMP. Jadilah bebannya sedikit berkurang.

Jangan Takut!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang