Dia Yang Pergi

285 17 13
                                    

Teruntuk TutanKhemen yang katanya lagi merinding #plak. Thank's for the cover!

|
|
|

Kembali pada masa 11 tahun yang lalu.

Udara pagi begitu menyejukkan tatkala seorang perempuan 20-an datang menuju teras rumahnya membawa sebuah nampan berisikan secangkir kopi. Dia Adelia, perempuan berkulit putih serta wajah oriental yang manis. Sungguh jelita parasnya, tak mengherankan Adelia pernah menjadi salah satu gadis paling cantik semasa kuliah.

"Ini kopinya, Mas," tutur Adelia kala menghidangkan kopi di atas meja.

Sedang yang mendapat jamuan, Hardi suaminya tersenyum lembut kemudian menyeruput kopi buatan istrinya.

"Manis, kaya kamu!" kata Hardi. Entah itu pujian ataupun godaan, yang pasti pipih Adelia meronah setelahnya.

Dan hari ini juga, tepat hari pertama putri tunggal mereka mengenyam pendidikan dini. Dea yang masih berumur 5 tahun-lebih berjalan riang keluar dari rumah. Nyanyian khas bocah yang belum hafal lirik terlantun dari bibir mungilnya.

"Ayah, Bunda! Ayo sekolah!" ajak Dea penuh semangat.

Adelia yang pertama berdiri dari tempat duduknya lalu menggendong putri kesayangannya itu.

"Anak Bunda Sudah mau berangkat?" tanya Adelia sambil mengecup pipi tembem Dea.

"Udah dong!!" seru Dea mengangkat kedua tangannya.

Dengan motor tuanya, Hardi mengantar putrinya menuju Taman Kanak-Kanak tempat putrinya belajar. Dan seperti kebanyakan anak kecil, Dea terus bersenandung ria sementara Hardi menanggapi sebisanya.

Hanya 10 menit berselang, Dea beserta Ayahnya sudah berada di tempat tujuan. 'TK Pertiwi', tulisan yang ada di gerbang sekolah usia dini itu. Hari pertama sekolah, sebagian orang tua akan menunggui anak-anak mereka hingga usai. Begitupun dengan Hardi, dengan setia menanti putrinya. Dia juga berkenan hati mengambil cuti dari pekerjaannya hanya untuk menemani hari pertama putrinya.

"Nanti Dea jangan nakal, ya!" ujar Hardi.

"Iyaa, Ayah," Dea mengangguk paham lalu pergi masuk ke kelasnya.

Selagi menunggu putrinya, Hardi memilih duduk di lapak seorang pedagang yang berada di depan Taman Kanak-kanak ini. Seorang pria separuh baya menyapanya hangat sembari menawari dagangannya. Dan dengan senang hati pula Hardi menangguk.

Dadar gulung, mungkin terakhir kali Hardi membeli jajanan ini saat dirinya masih SMP.

"Sudah lama jualan, Pak?" tanya Hardi.

"Lumayan, Pak. Sudah 8 tahun," jawab pak Kasno, penjual dadar gulung.

"Lama juga ya, Pak."

Pak Kasno yang masih menggoreng hasil adukan telur ayam tersenyum singkat. Dari penuturan beliau, sewaktu muda dulu pernah berkerja sebagai kuli bangunan kemudian merangkak menjadi tukang becak. Namun kebutuhan hidup tak mampu dicukupi dari hasil becak yang kian lama kian tergerus zaman. Maka jadilah berjualan keliling seperti sekarang digelutinya.

"Ini dadar gulungnya, Pak," kata Pak Kasno.

Hardi menyuap salah satu jajanan bertangkai itu ke dalam mulutnya. Kemudian dia memuji hasil masakan pak Kasno. Ada rasa yang membekas di antara lida Hardi. Seolah dirinya dibawa kembali pada masa sekolah dulu.

Jangan Takut!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang