3 hari sejak pulang dari pemakaman, Dea jatuh sakit. Kadang tubuhnya panas dan kadang menggigil. Hardi kira ini hanya demam biasa atau mungkin meriang.
Tidak bagi Dea, ini bukan hanya sakit. Lebih dari itu, dirinya kini malah mendengar suara-suara asing menggema di lorong telinganya. Hampir setiap malam mata coklat milik Dea enggan beristirahat. Dea terlalu takut untuk menutup mata. Karena setiap kali dirinya tertidur, Dea akan bermimpi buruk tentang dirinya, ataupun Ayahnya.
"Kita ke Dokter ya?" bujuk Hardi.
Dea mengangguk pelan. 3 hari berkurung di rumah membuatnya bosan, tidak sekolah, tidak cuci mata, tidak melakukan apapun. Mungkin Dokter lebih baik dari pada tidak sama sekali. Maka siang itu Dea mengikuti anjuran Ayah.
Bersama Ayahnya, Dea menuju klinik terdekat. Jadilah menumpang ankot pilihan yang dijatuhkan. Lebih baik dari motor tua yang berangin itu. Di dalam angkot, bersama penumpang lain yang sibuk dengan dunianya masing-masing, sekali lagi seutas suara memasuki pikiran Dea.
Suara bisikan yang samar seperti helaan napas berat yang khas. Dea menoleh ke sebelah, Ibu yang menggendong anak tidak bergeming. Menoleh kekiri, Ayahnya juga diam tanpa suara. Siapa?
10 menit berada di angkot, Hardi dan Des sampai di sebuah klinik. Hardi memapah Dea masuk ke dalam klinik. Setelah mengambil nomor antrean, Hardi ikut duduk di samping putrinya di ruang tunggu.
"Dea Ananda!" seorang suster memanggil.
Dea masuk ke dalam ruang praktek. Seorang Dokter perempuan sudah duduk menanti dirinya di belakang mejanya. Sambil tersenyum Dokter itu menyapanya.
"Namanya siapa?" tanya Dokter.
"Dea, Dok," jawab Dea lirih.
"Dea ada keluhan apa?" Dokter melanjutkan diagnosisnya.
Dea menceritakan semua yang terjadi pada tubuhnya. Panas, dingin, mual dan beberapa kali dia memuntahkan makanannya sia-sia. Dokter yang bernama Laras itu kemudian meminta Dea untuk berbaring di ranjang pasien. Memeriksa tubuh Dea, menulis hasilnya, lalu memberikan suntikan obat.
"Kamu baik-baik saja, kok. Cuma perlu istirahat, 2 hari lagi juga sembuh," terang Dokter Laras lembut.
"Terima kasih, Dok,"
Setelah menebus obat dan membayar biaya Dokter, Hardi dan Dea kembali pulang. Namun, sebelum mereka benar-benar meninggalkan klinik itu, mata Dea menangkap sesuatu yang sama sekali asing baginya. Seorang perempuan berbaju putih dengan wajah pucat pasih berdiri di depan pintu keluar.
Perempuan berwajah pucat menatap kosong kearah Dea atau mungkin itu hanya perasaannya. Dea menunduk terus berjalan di belakang Ayahnya yang sudah lebih dulu.
Tembus?
Dea berjalan lurus menembus perempuan itu. Hawa dingin seketika menyelimuti tubuhnya sedang cuaca cukup terik. Kenapa?
Sore ini, 2 teman sekolah Dea datang menjenguknya. Keduanya menyemangati Dea agar cepat sembuh. Gibran, salah seorang temannya sejak SD, terus mendesak Dea agar kembali ke Sekolah. Sedang Tina malah memulai percakapan biasa antara perempuan.
"Pembahasan yang lain dong!" sergah Gibran yang merasa terkucilkan.
Matahari sudah tergelincir menuju ufuk barat. Mengibas warna jingga pekat ke langit. Menandakan hari telah berakhir. Gibran dan Tina berpamitan pulang. Tinggallah Dea kini bersama Ayahnya.
Malamnya, ketika Dea akan berangkat tidur, dirinya yang sendirian merasakan ada sesuatu, seseorang yang memandanginya di balik daun pintu. Lampu kamar yang sengaja dimatikan olehnya membuat siapa atau apa yang berdiri di antara bayangan itu tidak bisa dilihat dengan jelas. Samar, hanya ada sedikit cahaya yang merambas lewat selah pintu yang terbuka separuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Takut!!!
HorrorDea tidak pernah berharap bertemu dengan segala sesuatu yang berbau supranatural. Baginya, setiap tahayul adalah tidak perlu untuk dipercayai. Meski kenyataannya, dia pernah mengalami hal yang selayaknya ada di luar nalar manusia di masa lalunya. Da...