Jika benang takdir seseorang saling terkait
Pertemuan pasti terjadi meskipun kita mencoba menghindarinya-Fanny Andreas-
****
"Fanny, ayo cepat berangkat!" Teriak ibu memanggilku.
"Iyaaaa bentar."
Ibu kini sudah berada di depanku, mengenakan baju kebanggaanya. Kain batik Jawa motif Truntum dengan warna coklat muda, dihiasi ornamen cantik di bagian dadanya. Wajahnya yang sudah tidak muda lagi dipoles dengan make up tipis nan menawan. Penampilannya masih terlihat segar meski hal itu tidak dapat menutupi tubuhnya yang mulai gemuk.
Mungkin tubuhnya yang gemuk karena ia jarang berolah raga, meski ibuku adalah seorang wanita pekerja keras yang dapat menyeleseikan semua pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, memasak, mencuci, bahkan merapikan kebun di depan rumah. Akan tetapi bekerja dan berolahraga adalah suatu hal yang berbeda.
Bekerja memang banyak mengeluarkan keringat, tapi metabolisme tubuh tidak mengalir seaktif saat kita berolahraga. Ketika berolahraga metabolisme mengalir secara aktif sehingga dapat membuang racun dalam tubuh, itulah yang membuat orang yang sering berolahraga, badannya menjadi lebih kencang.
Tidak seperti ibuku, semakin bertambah usianya semakin bertambah gemuk tubuhnya. Tapi walau bagaimanapun juga, ia adalah ibuku, yang masih terlihat sangat cantik setidaknya bagiku dan bagi ayahku.
"Ahh, malas bu," jawabku tidak bersemangat.
"Kenapa, kau kan sudah lama tidak bertemu dengannya, ibu masih ingat waktu kamu kecil, lengket terus sama si Adiemas, hebat ya dia sudah pintar, ngganteng pula, siapa tahu dia. . . ah sudahlah ayo cepat keburu acaranya mulai!"
Apa ibu bilang, menurutku si Adiemas itu orangnya sangat menyebalkan, kalau dia tidak sepintar itu mungkin aku bisa hidup dengan tenang. Setiap hari orang-orang selalu membandingkanku dengan dia.
Walau kami bertetangga bukan berarti sama kan. Lagi pula kami tidak punya hubungan darah jelas saja beda. Sifat dan karakter bahkan kecerdasan manusia itu ditentukan oleh gen yang diwariskan turun-temurun. Aku dan Adiemas dilihat dari segi manapun jelas berbeda.
Setiap kali keluar rumah selalu ditanya.
"Kok kamu nggak seperti Adiemas"
"Adiemas pintar banget kamu gimana Fann?"
Pertanyaan yang membosankan.
Memang aku akui Adiemas itu pintar, cerdas malah. Dari SD sampai SMA ia tempuh dengan cepat, tak heran memang karena ia terus masuk program akselerasi. Menjadi mahasiswa termuda di kampusnya, saat itu usianya masih 15 tahun. Lulus tercepat dengan predikat summa cumlaude, bayangkan nilai 4 sempurna.
Padahal biasanya kalau mahasiswa kuliah selesei cepat nilai IPKnya biasa aja, Adiemas yang hanya menempuh kuliah selama 2 tahun bisa mendapat nilai IPK sebagus itu.
Keluarganya menggunakan kesempatan langka ini dengan mengadakan syukuran besar-besaran. Semua orang di desa baik yang diundang maupun tidak memenuhi rumahnya.
Aku sebenarnya penasaran seperti apa dia sekarang? Kadang aku berpikir, makan apa dia sampai secerdas itu.
Tapi yang membuatku heran adalah kenapa ia mengambil jurusan pendidikan bukan kedokteran, seperti yang biasa diambil oleh orang orang yang masuk program aksel, biar dapat embel-embel Mahasiswa Kedokteran termuda. Entahlah hanya Adiemas yang tahu alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Taste (COMPLETED IN DREAME)
Teen FictionPelajaran yang tidak disukai Fanny Andreas, tentu saja Matematika. Berjibun rumus yang menurutnya sia-sia untuk dipelajari. Dia lebih suka membolos daripada mengikuti pelajaran itu. Sampai suatu ketika datanglah guru matematika baru di sekolahnya...