Chapter 8 - Mengutarakannya...

2.2K 80 7
                                    

Hari ini adalah hari terakhir Dara dan Nico di Jogja. Dara memuaskan dirinya bermanja-manjaan pada Bunda dan Bude sebelum esok ia harus kembali ke Jakarta dan entah kapan lagi ia dan suaminya bisa berkunjung ke tempat ini. Sedih, sudah pasti, namun itu tak membuat Dara merengek tak ingin kembali ke rumahnya. Ia sadar, setiap pertemuan pasti akan berhujung pada perpisahan.

Selama hampir seminggu ini, beberapa hari menjadi hari terasing bagi Dara dan Keke. Setelah permintaan Dara waktu itu, hubungan diantara keduanya merenggang. Semua orang dapat merasakannya, terlebih Bunda dan Bude yang menjadi saksi malam keramat itu. Mereka paham kenapa tercipta jarak diantara kakak beradik itu, lantas tak membuat mereka bertanya-tanya. Namun Nico yang sama sekali tak tahu apa-apa merasa sangat janggal dengan sikap mereka berdua.

Biasanya, Jika sedang ada Keke di rumah, Dara pasti lebih memilih bersama dengannya. Entah itu duduk bersama, mengobrol, memasak bersama, bahkan tidur bersama pun pernah Dara lakukan, saking tak ingin jauhnya dari adik tersayangnya itu, sampai rela membiarkan suaminya tidur seorang diri.

Namun kini, jangankan mengobrol, bertegur sapa pun terasa canggung. Pernah sekali mereka berpasasan tapi Keke malah mengalihkan pandangannya, pun dengan Dara yang seolah tak melihat keberadaan Keke. Semua itu jelas saja terasa janggal bagi Nico.

"Ekhemm.." Keke dikagetkan oleh deheman itu. Ia menoleh dan mendapati Nico berdiri di sampingnya.

"Ehh, Mas Nico." Ujarnya canggung.

Nico tersenyum. "Boleh saya duduk di sebelah kamu?"

"Ohh, boleh kok, Mas." Keke menggeser tubuhnya, memberi ruang dan sedikit jarak antara dirinya dan Nico diatas kursi ayunan itu.

"Kamu kenapa disini? Semuanya padalah lagi ngumpul di dalem loh."

Keke hanya menyunggingkan senyum kakunya begitu mendengar pertanyaan Nico. Bukannya tak ingin ikut bergabung, tapi perasaan asing yang masih hinggap di hatinya juga Dara membuat mereka diwajibkan tak boleh bertemu dulu sampai perasaan itu menghilang. Atau justru semakin melebar.

"Ada apa, Ke? Kamu lagi ada masalah dengan Dara?" Nico begitu to the poin, membuat Keke terpelongo mendengarnya.

"Ahh, nggak kok Mas. Kami baik-baik aja." Keke berusaha mengelaknya. Tapi Nico masih tak mempercayainya.

"Kalau baik-baik aja, kenapa selama lima hari ini hubungan kalian semakin merenganggang? Saya memperhatikan kalian loh, Keke" senyuman Nico terulas, berusaha mengulik tapi tak membuat si target merasa tertekan karnanya. Dia mencoba bersikap semenyenangkan mungkin agar Keke tetap merasa nyaman dengan kehadirannya.

Saat Nico tersenyum, tak Keke pungkiri jika senyuman Suami Mbaknya itu memang sangatlah manis. Pantaslah jika Dara selalu meleleh dibuatnya. Tapi efek senyuman itu bereaksi lain padanya. Desir-desir rasa sakit, juga perasaan bersalah yang luar biasa hebat menghujam jantungnya. Rasanya begitu tak tega melukai hati Pria yang sedari tadi menatapnya itu apabila ia mengetahui alasan dibalik perubahan sikapnya dan Dara.

"Ada apa Keke? Kalau memang kalian ada masalah, boleh lah kamu cerita sedikit sama saya. Siapa tahu saja saya bisa bantu." Kembali Nico tersenyum manis. Rasa bersalah itu pun semakin menekan jiwa Keke.

"Kami nggak ada masalah kok, Mas."

"Masa sih? Jangan bohong."

"Iya mas. Beneran. Kami memang nggak lagi ada masalah, Kok." Keke tertawa hambar, mencoba menutupi kegugupannya. Terus dirundung pertanyaan seperti itu membuatnya was-was juga. Takut jika saja mulutnya keceplosan mengungkapkan kebenaran.

Nico hendak kembali melayangkan pertanyaannya, namun deringan telpon menghentikannya. Ia melihat si penelpon yang ternyata adalah Andre, salah seorang yang masuk dalam kategori penelpon penting yang tak mungkin ia tolak panggilannya.

Jodoh Ke'DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang