CHORD 4: UAP COKELAT LELEH

44 5 5
                                    


     Jadwal sarapan pagi tiba juga. Manis merasa sarapan kali ini akan diselingi dengan omelan adiknya. Fuzi yang duduknya berhadapan di meja makan itu sudah cemberut sejak tadi. Bukan karena tidak suka dengan seragam yang dia pakai di hari Senin ini, melainkan dia bertemu lagi dengan telur mata sapi.

"Telur lagi kak?" tanyanya datar.

Manis menghela nafas agar penjelasan panjangnya tak terpotong oleh ketersediaan oksigen yang dia hirup. Bertutur sambil tersenyum. Berlagak seperti Chef yang meyakinkan pelanggan setianya.

"Goreng telur mata sapi itu butuh ketelitian yang tinggi. Kita harus tahu berapa suhu wajan. Selain itu kita juga harus paham berapa detik menggoreng telur tersebut agar setengah matang. Bukan seperempat matang ataupun seperdelapan matang," celotehannya berhenti sejenak, menghela nafas kembali.

"Jadi, telur mata sapi yang sudah di atas piring ini, adalah sebuah pres-ta-si," lanjutnya dengan bangga karena tak ganti judul telur mata bajak laut. Setengah matang sempurna.

Senyuman smirk begitu tangkas ditawarkan oleh Fuzi, membuat dia sadar akan penjelasan tak masuk akalnya itu. Fuzi bukan anak kecil yang begitu mudahnya mengangguk. Dan, pagi ini dia tidak suka dengan dongeng telur mata sapi.

"Dari kemarin siklus makanan kita itu telur mata sapi, omelet, mie instan. Mie instan, omelet, telur mata sapi. Tubuh kita mau sehat darimana?"


      Fuzi semakin mengomel saja. Sendok di atas piring belum juga diraihnya. Manis pasrah, meski kadang dia kesal karena urusan orang tuanya diluar negeri belum kunjung kelar. Memaksanya untuk mandiri mengurus Fuzi dan menyeimbangkan porsi belajarnya.

"Sabar dik."

Senjata paling akhir saat tak ada stok bualan di benaknya.

"Sabar sampai kapan kak? Udah seminggu kita makannya kayak gini. Sementara bibi cutinya dua bulan."


      Wajahnya memasang senjata lain. Melahap enak telur mata sapi di atas piring sambil menyuarakan rasa enak lewat suara kunyahannya. Lagi-lagi Fuzi tak menghiraukannya. Malah wajah datar itu semakin terpajang jelas.

"Kita beli makanan di luar aja kak," ajak Fuzi dengan senyum lebar.

"Papa belum transfer uang. Kita harus hemat."

"Terus kita makan apa?! Kakak sih nggak bisa masak!"

Omelan Fuzi meletup-letup lagi. Kini mulai dipenuhi amarah.

"Kalau Fuzi mau makan di luar, uangjajannya kakak potong."

       Sekarang perasaan mereka bertukar tempat. Fuzi yang merasa semakin tersudutkan telah cukup membuat Manis mampu memasang wajah datarnya. Dia merayu kakaknya lagi.

"Kak, gimana kalau kita minta masakin pembantu depan rumah? Bibi itu baik banget. Hampir tiap hari aku ditawarin makan."

"Nggak usah. Kakak ikut les masak saja habis ini," tangkasnya datar.

"Kak, les masaknya pasti sebulan lebih. Ya sampai bibi balik kesini."

Manis tak merespon sedikitpun, terus melahap sarapannya. Dengan berat Fuzi menyentuh sendok miliknya. Memakannya tak penuh selera.

"Pokoknya, ini telur mata sapi terakhir!"

Manis sudah malas untuk berdebat. Dia membiarkan Fuzi untuk melahap semuanya hingga habis. Segera bergegas mengantarkan adiknya itu dan kembali mempersiapkan diriuntuk pergi kuliah.

GUARANTEED FINGERS (Telah Terbit 2020)Where stories live. Discover now