Terbukanya mata Manis pagi ini menyadarkannya bahwa waktu terkesan menyulut amarahnya. Bagaimana tidak, frekuensi pertemuannya dengan Kalvin terlalu sering. Bahkan, dia tak paham untuk menghindari itu. Berawal dari celotehan dan berakhir dengan perdebatan. Begitulah siklus pertemuannya yang hampir setiap hari. Seperti rantai makanan yang harus begitu adanya.
Manis bangun dari tidurnya. Sebelum beranjak ke kamar mandi, dia ingin memeriksa baju yang akan menemani harinya kali ini. Membuka dengan kedua tangannya dan seisi lemari yang lebih tinggi sejengkal darinya terlihat jelas. Beberapa pakaian tergantung dan sisanya terlipat rapi, tersusun seperti kue lapis. Bukan, ini bukan kue lapis. Tak ada perpaduan warna. Semuanya berwarna hitam. Hanya beberapa berwarna biru, tosca, peach, dan yang paling mencolok adalah warna pink yang tersusun rapi di bagian paling bawah. Serasa disengaja untuk tak dijamahnya. Buktinya, sejak tadi dia tak menghiraukannya. Malah kini dia terhipnotis dengan semua pakaian hitam dihadapannya. Warna yang mengajaknya pergi pada sekeping memori dua tahun yang lalu. Keping bahagia, dia menyetujui nama itu hanya untuk sesaat.
Saat itu dia berseragam abu-abu, berjalan menelusuri koridor sekolah dengan langkah tomboinya. Tampak tangan kanannya membawa tas kertas berwarna hitam. Ingin melangkah sambil bersiul namun itu hanya akan terlihat aneh dan akan menjadi sorotan siswa lainnya. Cukup sesekali asik tersenyum sendiri.
"Kembalikan saja di sekolah. Kelas XI A."
Rekaman suara Rama waktu di bus kemarin hari itulah yang menjadi panduan langkahnya kali ini.
Kali ini langkahnya semakin cepat, ingin segera memasuki ruang kelas yang tak jauh dari posisinya. Tak perlu bertanya, dia sangat paham kelas itu. Kelas temannya yang bisa dimasukkan dalam list teman akrab apabila mood-nya dalam keadaan baik.
Langkahnya berhenti tepat di sebelah pintu kelas, bersamaan dengan keluarnya batang hidung teman akrab yang dia maksud.
"Kalvin," sapanya penuh semangat tanpa melupakan senyum lebarnya.
Kalvin cukup kaget dengan sapaan tiba-tiba itu.
"Kenapa kesini?"
Tak peduli wajah herannya, Manis tetap tersenyum lebar.
"Kamu mau kemana?"
Pertanyaan yang malah dijawab dengan pertanyaan juga.
Kalvin semakin merasakan anehnya Manis. Tak seperti biasanya. Untuk tingkatan Manis, ucapannya kali ini terlalu bernada feminim.
"Ke kantin. Kamu?"
"Kesini," lagi-lagi senyum itu masih melekat.
Baiklah, Kalvin mulai kesal dengan siklus obrolan tak jelas itu baginya.
"Mau apa?"
Manis malah semakin tak bisa mengontrol senyum lebarnya. Sementara Kalvin sejenak mengalihkan pandangannya pada apa yang Manis bawa. Tas itu tampak berisi jaket hitam.
Manis berjinjit dan membisiki pertanyaan yang ingin dia tanyakan sejak tadi pada Kalvin.
"Kamu kenal Rama?"
Munculnya nama Rama dalam bisikan itu cukup membuat Kalvin kaget. Bagaimana bisa Manis mengenali murid baru itu. Dia melihat sekali lagi isi tas itu. Sangat jelas, itu berisi jaket hitam.
Dia mengangguk ragu, "Kenal."
"Dimana dia sekarang?" nada Manis semakin menggebu-gebu.
YOU ARE READING
GUARANTEED FINGERS (Telah Terbit 2020)
RomansManis, berstatus Mahasiswi Teknik Semester 2 yang nggak hobi make up, rambut sebahu dengan hiasan poni sederhana dan style seadanya. Kegilaannya pada fiksi mengundang banyak celetukan menggelitik dari si kutu buku "Kalvin", teman angkatannya. Karena...