[26]

381 25 2
                                    

Peringatan!
Part ini mengandung unsur kekerasan. Dimohon kebijaksanaannya agar tidak meniru adegan sadis dalam cerita. Terimakasih.

~

Awan selalu tulus berkorban, menurunkan hujan untuk Pelangi, tanpa pernah mengkhawatirkan, jika setelah itu dirinya akan menghilang.

###

Oka menghirup napas dalam-dalam setibanya di sebuah gang tepi jalan yang benar-benar sangat sepi. Ralat, sepi oleh orang-orang asing. Karena semua wajah haus perang di sana sudahlah Oka kenali. Mereka menatapinya dingin. Seakan hendak langsung memukulinya saat itu juga.

Dengan begitu gagah, Oka mulai memasuki lingkaran setan itu. Dia didorong ke depan oleh dua anak dengan begitu kasar sampai dia tepat berdiri di tengah-tengah lingkaran geng Rahman. Dia benar-benar tak suka diperlakukan dengan hina--menurutnya--seperti itu. Tapi Oka tetap berusaha bersabar, lurus pada niatnya.

Tak sengaja Oka menginjak sebuah balok kayu. Sepertinya mereka memang sengaja menaruhnya di sana untuknya. Sekarang di depannya sudah berdiri si cowok ikal, dalang dari ini semua.

Dari dulu Oka tahu Rahman itu cemen. Sukanya main keroyokan. Maka itu berarti dia sama saja bunuh diri berani-beraninya datang sendirian. Tapi selebihnya, Oka memang pemberani. Dia tak akan mundur sekalipun geng di sekelilingnya ini berniat mengeroyoknya sampai dirinya habis.

Lagi pula, Oka kemari untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah dia perbuat. Dia yang punya salah, maka dia sendiri yang harus menyelesaikannya. Itulah prinsip Oka.

Rahman kelihatannya sangat murka. Napasnya menderu panas. Di tangannya sudah ada balok kayu yang biasa digunakan anak SMA untuk tawuran.

"Kita bisa selesaiin masalah ini pake otak, Man," ujarnya datar.

"Pake otak?! Otak siapa yang mau dijadiin tumbal?! Otak lo?!"

Oka melirik ke bawah sebentar. Berniat sungguh-sungguh untuk mengakui kesalahannya.

"Gue akuin gue salah, Man. Gue udah bikin kondisi adek lo drop. Gue ke sini mau minta maaf."

Pernyataan tulus dari Oka nyatanya tak langsung membuat hati Rahman tersentuh. "Minta maaf?" dengusnya. "Lo udah bikin kondisi adek gue drop dan dengan segitu enaknya lo cuma ngomong maaf, Ok?! Harga diri lo mana, ha?!" Wajahnya benar-benar kelihatan berang, menantang.

Oka menunduk. Bergeming. Baru kali ini dia seolah tak bisa menjawab perkataan Rahman. Oka sudah merasa bersalah, dan kalimat Rahman yang menyudutkan membuat dia tak punya celah untuk membantah.

"Nyawa adek gue hampir terancam, Ok! Dan dia trauma sampai nggak sekolah berhari-hari! Lo pikir kata maaf dari lo itu bisa mulihin dia gitu aja?! Enggak!" Matanya melebar. Kemurkaannya sudah begitu memuncak di ubun-ubun.

"Terus mau lo apa? Lo mau ngabisin gue? Kalo dengan cara lo ngabisin gue, terus lo mau maafin gue, oke," cara bicaranya lebih terkesan nekat dan tanpa pikir seperti biasanya. Meski demikian separuh jiwanya hancur berkeping-keping. Dengan berat hati dia menendang balok kayu di samping kakinya itu jauh-jauh. Sepertinya Oka benar-benar mau menyerahkan dirinya untuk diamuk Rahman. Pasti dia sudah gila!

"Tapi dengan syarat, temuin gue dulu sama Nisa. Biar gue minta maaf sama dia."

Rahman melirik ke kanan sambil tersenyum sinis. "Terimakasih lo udah buat gue terharu. Tapi mending lo nggak usah berharap terlalu banyak, Ok. Karena gue nggak bakal sudi nemuin lo sama adik gue!"

Sekat [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang