[24]

238 21 1
                                    

Tekanan akan semakin mendorong kita untuk jatuh lebih jauh, jika kita enggan membebaskan diri kita sendiri.

###

Ditempelkannya punggung tangan di dahi putra bungsunya itu. Masih panas. Dia menghamparkan sapu tangan yang sudah dicelupkannya ke air di dahi lapang Virgo yang tertutup poni. Air mata telah berkumpul di kelopak mata wanita tersebut.

Matahari sudah tenggelam ketika dia menemukan Virgo tertidur di kursi teras. Keadaannya merisaukan. Basah kuyup, menggigil, wajah pucat, badan panas, dan lengan yang lecet-lecet. Cowok itu pun sepertinya tak sadar ketika dirinya dipapah masuk oleh Pak No, sampai ganti pakaian sendiri dan berebah di ranjang. Sudah empat jam Virgo terbaring lemas.

"Kak En, maafin Igo, Kak ...," igaunya.

Devina terkesiap. Dia langsung menggenggam erat telapak tangan Virgo. Dia berbisik sambil menyibak rambut poni Virgo yang terbasahi kompresan dan keringat. "Go, bangun. Kamu belum makan, Sayang .... Jangan buat Bunda cemas, Igo."

Masih dengan keadaan mata yang tertutup, Virgo merintih. "Kak, maafin Igo, hiks."

Devina tambah khawatir mendengar Virgo mulai terisak. "Go, ini Bunda ...." Mimpi apa dia?

Cowok itu membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit. Lantas memeluk ibunya dengan cepat. Menumpahkan tangisnya di pelukan Devina. Wanita itu membalasnya. Ketika dua tetes air matanya meluncur, dia langsung mengusapnya.

"Go, ada masalah apa?"

"Maafin Igo, Bun. Igo yang udah bikin kak En koma, hiks, hiks," tangisnya penuh kecewa.

"Husst, kenapa kamu bilang begitu?"

Virgo mengeratkan pelukannya. Seakan-akan tengah diburu oleh keresahan yang membabi buta. Virgo seolah berusaha mendapatkan ketenangan dan perlindungan dengan susah payah dari pelukan ibunya.

"Go, curahkan semuanya sama Bunda. Bunda selalu siap dengar keluh kesah kamu."

Cowok itu melepas rengkuhannya di tubuh ibunya dan menyeka air matanya sampai kesat. "Igo pacaran sama Zifa, Bun. Itu yang bikin kondisi kak En memburuk. Kakak tahu Igo pacaran sama orang yang kakak suka sejak lama. Maafin Igo, Bun. Igo nyesel."

Devina menatap mata Virgo lembut penuh makna. Mencoba menggali tanpa menghakimi. Terpancar penyesalan yang begitu dalam dari iris mata putra bungsunya tersebut. Dia tersenyum lembut sambil menggeleng-geleng.

"Enggak, enggak pa-pa. Manusia itu tempatnya salah, semua orang melakukannya. Nggak cuma kamu, Igo. Kamu nggak boleh terus menerus terpuruk karena rasa bersalah. Itu cuma memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya. Masalah yang udah terjadi jadikan saja sebagai pelajaran buat ke depannya. Nggak ada gunanya ditangisi, apalagi membuat kamu sampai menyalahkan diri sendiri. Kamu pasti udah minta maaf, kan, sama Rendra? Nah, yang bisa kamu lakukan sekarang adalah memaafkan diri kamu. Kamu harus bisa maafin diri kamu sendiri, Go."

Bahu Virgo gemetar menahan isakan. "Igo udah minta maaf, Bun. Tapi kak En bener-bener udah nggak mau maafin Igo. Igo yang kelewatan. Igo takut, Bun ...." Air matanya kembali bercucuran.

"Orang yang mudah merasa bersalah seperti kamu harus pandai-pandai berpikir positif. Tapi Bunda yakin Rendra pasti sudah maafin kamu. Rendra nggak akan tega buat benci orang lain, apalagi itu kamu, Igo," ucapnya sembari menghapus air mata Virgo yang tak henti mengalir.

Devina menyambar semangkuk bubur yang sudah dari tadi dia ambilkan untuk Virgo. Masih lumayan hangat. "Makan dulu. Habis itu minum obat. Udah, kamu nggak perlu mikir lagi kesalahan kamu sama Rendra apa aja. Yang penting kamu udah minta maaf. Sekarang keputusannya tinggal di tangan kamu. Memilih diam dalam keterpurukan, atau bangkit dan memaafkan."

Sekat [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang