Theory IV
"Kita kan hanya rekan kerja."
Makan siang normal Xander tidak seperti ini. Biasanya akan berlangsung di ruangannya atau beberapa jamuan di restauran terpandang bersama beberapa kliennya, namun saat ini, duduk berhadapan dengan seorang wanita terlebih Louisa, sekretarisnya dalah hal baru. Pelayan sudah membawakan pesanan mereka, namun Xander lebih menikmati pemandangan wanita di depannya yang makan dengan terburu-buru.
Xnader tersenyum. "Apa kau selalu selapar ini?"
"Maaf.." Lou menutup bibirnya yang penuh saus, ketika wanita itu hendak meraih tisu, Xander sudah mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap sudut bibir Lou. "Jadi merepotkanmu." Dia meraih sapu tangan dari tangan Xander namun Xander tetap mengusap bibirnya, dan berlama-lama pada bibir bawahnya.
"Nafsu makanmu bisa membuat pria mana pun rela menghabiskan uang mereka."
Lou terkekeh, dan Xander menjauhkan sapu tangannya. "Saya terima itu sebagai pujian."
Xander melebarkan senyumanya lantas mulai meraih garpu dan pisaunya. Sesekali dia memperhatikan Lou, namun dia tidak bisa berlama-lama. Semakin dia melihat Lou, hanya semakin menguji kesabaran dan batas-batas kewarasannya. Apakah aku harus mengajaknya mendatangi penthouseku? Apakah aku harus merayunya agar dia mau berduaan denganku? Atau haruskah aku memberikannya bunga dahulu?
Hish, gaya kencan konvensional tidak pernah ada dalam pikirannya.
Xander, biasanya, hanya perlu tampil di hadapan wanita yang diincarnya, dan biarkan sisanya berlanjut begitu saja. Mereka akan saling menyentuh, mereka akan saling pasrah pada nafsu mereka, saling memuaskan, dan selesai.
Yang satu ini baru untuknya.
"Hish," gerutunya. Lou mengusap bibirnya, lantas membantu Xander yang nampak kesulitan memotong daging. Bukan karena pria itu tidak bisa, namun karena pria itu terlalu banyak memikirkan bagaimana wanita di depannya bisa dia bujuk agar semua fantasinya ini bisa dienyahkan. Xander tertegun ketika Lou sibuk memotongkan daging steaknya hingga kecil-kecil.
Lou menarik tangannya. "Kau bisa tersedak, makanlah dengan perlahan."
"Te...terimakasih."
Lou kembali menyantap hidangannya, dengan Xander mulai mengigit potongan kecil hasil tangan Lou tersebut. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia sanagt menginginkan Lou saat ini juga? Bagaimana dia mengungkapkan bahwa dia tidak pernah segila ini akan satu wanita namun Lou, notabene hanyalah sekretarisnya sekligus wanita yang ia temui di klab, ternyata mampu membuat Xander jadi sesabar ini.
"Apakah malam minggu ini kau ada rencana?"
Lou tersedak, membuat Xander cepat menyodorkan gelas air. Lou meminta maaf, sebelum dia akhirnya menatap Xander. "Malam minggu?"
Xander nampak seperti orang bodoh, dia mengusap dagunya sebelum kembali menatap Lou. "Ya? Apa kau tidak punya rencana? Atau ..."
"Entahlah," jawabnya, dan kembali meneguk air di hadpannya. "Memang ada apa, Tuan? Apakah ada pekerjaan yang harus saya tuntaskan?"
Ya, sayang, membuatku puas akan tubuhmu, batin Xander berkata lirih. Xander langsung meneguk minumnya juga. "Tidak, tidak, tentu saja. Aku hanya penasaran."
Lou kembali menyantap makanannya, membiarkan menit demi menit mengambang saja di antara mereka. "Saya belum tahu, Tuan." Xander mengigit bibirnya dalam. Astaga, mengapa sulit sekali?
Waraslah, Xander!
"Baiklah, aku bukan pria baik, dan aku tahu aku mungkin akan membuat siatuasi kita menjadi sulit. Tapi, ini takkan berhenti. Sekali saja, aku mohon, Louisa." Alexander mengangkat suara di saat Lou baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan. Alexander langsung mendorong tubuhnya ke dinding, mengejutkan Lou, bahkan makanannya belum sempat dicerna olehnya. "Kau menyiksaku, Louisa," bisiknya parau.
Lou hanya meneguk ludahnya, melihat wajah Bosnya sedekat ini. Dia berusaha melepaskan diri namun Alexander tetap menahannya. "Apa yang ... Anda mau .."
"Kau."
"Apa—"
"Kau memang berlaku murahan di malam itu, tapi naasnya, aku terpancing karenamu. Aku penasaran.." Perlahan dia merengkuh wajah Lou, dan mendekatkan wajah mereka berdua. "Aku penasaran akan dirimu, Louisa." Ia mulai meraih pinggang Lou, dan meremasnya perlahan.
Pintu terdorong pelan. "Shit!" Sementara Xander nampak pias, Lou justru kesulitan untuk bernapas sehingga perlu menekan dadanya. "Apalagi ini?" katanya kasar pada pria yang baru saja masuk itu. "Aku kan bilang, ini jam kerjaku dan tidak seharusnya.."
Jansen terkekeh. "Astaga, santai, Bung." Ia beralih pada Lou yang berwajah merah padam, dan melirik Xander yang masih menegang di posisinya berdiri. "Oh, apakah aku datang di waktu yang tidak tepat?"
"Keluarlah. Sekarang."
Jansen memprotes, namun Alexander sudah mendorongnya keluar, dan menutup pintu. Di sana dia bernapas susah payah, dan berbalik pada Lou yang sudah menyembunyikan diri di kubikelnya. "Soal tadi .."
"Tidak!"
Alexander tertegun. "Apa?"
Lou berdiri teguh di kubikelnya. "Saya punya aturan ketat soal karier saya, seperti yangsudah saya tegaskan, jika Anda berpikir saya bisa dijadikan sebagai objek pemuas Anda, carilah wanita lain yang mau." Setelah kata-kata itu terlontar lantang, Lou langsung kembali menyibukkan dirinya dalam kubikelnya.
"Apa.."
Lou mengetik dengan brutal, lantas meraih beberapa tumpuk berkas sekaligus. Dia tidak mau diganggu, walaupun Alexander mendekatinya atau hendak melangkah lebih dekat. "Ini batas suci. Wilayah kantor ini adalah area suci untuk saya, Tuan. Kau bisa seenaknya tapi kau tidak bisa membuatku seolah aku adalah jalang di sini." Lou menghalau air matanya, lantaskembali melanjutkan pekerjaannya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Tame The Beast (2017) ✔
Storie d'amore[An Adult Romance | uncomplete mode ] Don't play with the fire if you don't want to get burned Don't play with him if you don't want to get in trouble Sepertinya Louisa memang pengecualian dari segala hukum semesta. Di saat banyak w...