Kecelakaan maut

2.4K 86 3
                                    

Aku menatap titihan hujan diluar sana sambil sesekali menyeruput kopi panasku yang baru saja simbok buatkan. Entah mengapa hatiku merasa gusar saat ini, tak biasanya seperti ini.

Aku melangkah mengambil remote tv dan menyalakan tv. Mungkin menonton acara tv meringankan perasaanku yang gusar entah kenapa. Saat tvnya menyala stasiun tvnya menyiarkan siaran live, baru aku ingin memindahkannya kestasiun tv lain saat kejanggalan kuliat dilayar kaca.

Pemirsa terjadi kecelakaan maut 2 mobil di Jalan Melaka sari tepat pukul 13.05. 4 korbang tewas ditempat dan 2 korbang lagi dilarikan ke Rumah sakit.

Mendengar penuturan presenter berita membuat jantungku mencelos seketika saat mataku juga mengenali mobil dilayar kaca itu. "Bunda! Ayah!" Teriakku prustasi lalu mematikan televisi dan berlari keluar kamar.

"Non? Jangan lari-lari!" Tegur simbok yang melihatku berlarian menuruni tangga. Aku tak memperdulikannya, aku terus saja berlari dengan kunci mobil ditanganku.

"Non ada apa?" Teriak simbok dibelakang. Namun lagi-lagi aku tak menghiraukannya. Aku berlari ke garasi dan mengeluarkan mobil merah yang dibelikan Ayah waktu ulang tahun ke 17ku tahun lalu.

Dengan air mata yang terus menetes tiada henti aku melajukan mobilku tanpa melihat kecepatannya. "Ayah! Bunda!" Gumamku terus. Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil didepan menyorot penglihatanku ditambah kaca mobil yang buram akibat hujan.

"Akhhhhh!" Aku hanya bisa berteriak bersamaan kubanting secara paksa stir mobilku lalu tak ada lagi yang kulihat dan tak ada lagi kumerasakan sesuatu selain suara hujan yang perlahan menghilang.

***

Pening. Itu yang kurasakan saat ini, aku mencoba membuka mataku perlahan sambil memegan kepalaku yang sepertinya diperban. Dinding putih yang mengelilingiku membuatku menerka kalo yang kutempati saat ini adalah rumah sakit dan semakin diperjelas saat bau obat-obatan makin menyeruak masuk diindra penciumanku.

"Ayah! Bunda!" Teriakku saat sadar akan apa yang membawaku kesini. Dengan cepat aku menarik impus yang melekat ditanganku tanpa memperdulikan perih akibat darah yang dikeluarkannya aku berlari keluar dari ruangan dengan pakaian rumah sakit yang entah sejak kapan digantikannya dengan pakaian yang tadi kupake dari rumah.

Aku keluar dengan jalan sempoyongan, bagaimana tidak kepalaku begitu pening. Tak lupa darah yang terus mengalir ditanganku, Namun itu tak membuatku lemah untuk menuju Bunda dan Ayahku.

"Dek mau kemana?" Tanya suster panik saat melihatku. "Bundaku sama ayahku sus." tangisku tak bisa kutahan didepan suster itu. "Ayah? Bundamu? Apa yang kecelakaan kemarin itu?" Tanya suster itu entah dimana ia menebaknya aku tak mau tahu juga.

Aku hanya bisa mengangguk lemah seraya menumpuhkan tanganku ditembok sampingku. "Korbang kecelakaan dibawah ke rumahnya setelah diatopsi tadi dek," jelas suster itu. Mendengar penjelasan suster membuatku bangkit berdiri dan langsung berlari menghiraukan teriakan suster itu.

Aku berlari keluar rumah sakit tanpa memerdulikan orang-orang yang berusaha menahangku, aku terus saja berlari menembus derasnya hujan masih dengan perban dikepalaku dan juga pakaian pasien.

Lagi-lagi sebuah lampu jauh menembus iris mataku akhhh! Kenapa begini? saat itu aku benar-benar pasrah dengan kehendakNya. Aku menutup mataku dengan tangan kucoba tutupi mukaku sambil berteriak. "Akhh!"

Saat beberapa menit aku merasakan tidak terjadi apa-apa dengan tubuhku aku membuka mataku perlahan dan tidak ada kendaraan didepanku, apa cuman halusinasi? Akhh! Aku menoleh kebelakang sepertinya motor tadi sudah melaju.

Aku melanjutkan jalanku lagi masih dengan jalan sempoyongan tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti disampingku, aku tidak memperdulikan hal itu aku terus saja melanjutkan jalanku. "Meira." Teriakan seseorang membuatku menoleh.

"Om Erdi?" Gumamku saat melihat teman ayah menurunkan kaca mobilnya tepat disampingku. "Ayo nak, naik kesini," ajak om Erdi. Aku tak menjawab melainkan aku hanya menatapnya dengan luka.

Saat merasa aku tak meninggalkan tempatku ia turun dengan payungnya lalu menuntunku menaiki mobil.

Aku duduk disampingnya dengan tatapan kosong didepan, hanya luka yang bisa kutatap didepan sana. "Nak?" Panggil om Erdi pelan membuatku menoleh tanpa menjawab. "Kenapa kamu meninggalkan rumah sakit? Kenapa kamu lari nak?" Tanya om Erdi.

Aku menggeleng lalu berujar, "Ayah Bunda," lirihku. Kurasakan om Erdi menghela napas lalu menggenggam tanganku erat. "Ayah dan bundamu sudah tenang disana, jangan tangisi mereka."

Mendengar hal itu membuatku mengap-mengapkan mulutku ingin berteriak namun tak bisa. Aku membekapnya dengan punggun tanganku sambil terisak. Aku bisa merakan om Erdi disampingku menatapku iba.

Saat sampai didepan rumah kulihat bendera putih sudah terpasang digerbang dan sudah banyak orang-orang yang memakai pakaian putih didalam sana.

Aku berjalan dituntung om Erdi kudengar orang-orang berbicara tentang kejadian yang menimpah ayah dan bundaku. Katanya mobilnya bertabrakan dengan mobil lain dan penumpang mobil lain itu selamat dua orang dan dua orang lainnya juga tewas. Dan berdasarkan juga yang kudengar tidak ada yang salah diantaranya hanya saja ada mobil lain yang juga ikut terlibat yang tiba-tiba melintas lalu tak ada lagi kudengar saat bersamaan penglihatanku kabur seketika saat sebelumnya melihat dua sosok yang memanjakanku selama ia mengangkatku menjadi anak asuhnya kini terbaring kaku tak berdaya.

Iya aku bukan anak kandung mereka, tapi mereka memperlakukanku layaknya anak kandung. Mereka mengambilku dari panti saat usiaku masih 2 tahun saat itu, tidak ada yang mengira bahwa aku bukan anak kandung mereka, akupun demikian saat mereka memberitahuku dengan caranya yang tidak membuatku kecewa saat usiaku menginjak 14 tahun saat itu. Tapi perlahan aku percaya meski itu sulit untuk beberapa saat setelahnya aku makin menyayangi mereka.

***

Cahaya putih masuk melalui celah-celah gordengku membuatku mengerjap berkali-kali. Namun yang tak kutahu entah apa yang membuatku langsung beranjak dari tidurku dan berlari keluar kamar lalu menuruni tangga dan berlari keluar rumah.

Aku makin tidak mengerti apa yang kulakukan saat ini, aku memakai pakaian rumah sakit dan kepalaku diperban? Kenapa? Apa yang terjadi padaku?

Satu lagi yang makin mengganjal, kenapa tadi di kamar ada cahaya yang masuk sedangkan diluar rumah masih gelap?

Aku memutar-mutar tubuhku mencari sesuatu yang entah apa. Retina mataku menangkap sosok yang familiar, sosok yang tiba-tiba sangat aku rindu. Aku berlari kearahnya yang berdiri di ambang pagar rumah yang terbuka. "Bun? Yah? Kenapa berdiri disitu? Kenapa gak masuk?" Tanyaku pada mereka yang hanya membalasnya dengan senyuman.

"Ayo bun yah, masuk rumah. udah gelap nih," ajakku hendak meraih lengan mereka. Keningku mengernyit saat tidak bisa meraih tangan mereka. "Yah? Bun? Kenapa ini?" Tanyaku menatap tanganku sambil membalik-balikkannya.

Lagi-lagi mereka tersenyum kearahku sambil mengusap puncak kepalaku lalu dengan senyuman mereka berbalik membelakangi rumah dan perlahan mereka melangkah. "Ayah! Bunda! Kalian mau kemana?" Teriakku. "Kenapa kalian mau ninggalin Meira?" Teriakku lagi prustasi.

Saat mereka hendak menyebrang tiba-tiba sebuah mobil dengan lampu jauhnya melintas dengan kecepatan sangat cepat dan langsung menabrak mereka. "Bunda! Ayah! Ayah! Bunda!" Teriakku prustasi sambil berlari hendak menolong mereka, namun anehnya tak ada jejak mereka. Tak ada tubuhnya ataupun darah yang tersisah, apa mobil tadi membawanya? Mana mungkin!

Aku mengacak rambutku prustasi ingin berteriak namun suaraku tiba-tiba saja tak bisa keluar, aku terus saja memutar-mutar tubuhku mencari mereka namun tak bisa kutemui.

Aku terus saja berusa berteriak memanggil mereka hingga suaraku kembali lagi. "Ayah!bunda!" Teriakku sambil bangkit dari tidurku.

Keringat dingin tiba-tiba bercucuran dimukaku. Teriakanku tadi membuat beberapa orang memasuki kamarku. "Meira," teriak simbok panik dan langsung memelukku. "Ayah, bundaku mbok," lirihku dengan lemah.

"Mereka udah dibawa keperistirahatan terakhir mereka non," jawab simbok membuat duniaku rapuh, luruh seketika mendengar Ayah Bundaku diantar keperistirahatan terakhirnya. Aku hanya bisa menghela napas sambil mengacak rambutku lalu menelungkupkan mukaku kekedua lututku.

_________________

Tentang dia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang