Malam yang larut aku masih terjaga memikirkan kisahnya, ternyata dia juga anak panti? Tapi tragisnya yang mengangkatnya bukan seorang malaikan seperti ayah dan bunda. Akhh aku jadi rindu mereka, aku menatap gordenku yang mengibar-ngibarkan dirinya.
Dengan sisa-sisa tenaga yang tersisah aku berjalan menuju gorden, ternyata jendela kamarku belum kututup. Aku hendak menutupnya saat aku melihat ribuan bintang dilangit berkilauan.
Aku berjalan ke balkon dan menatap bintang itu. "Ayah? Bunda? Kalian seperti bintang disana yang mengilaukan hidupku," ucapku lirih. "Ayah, Bunda memang kalian bukan orang tuaku, tapi kasih sayangmu melebihi orang tuaku sendiri Yah, Bun." Tanpa kisadari setetes air mata lolos dipipiku. "Yah? Bun? Aku rindu kalian, sangat malah. Aku ingin cerita kekalian_" kini aku mulai terisak tanpa kusadari.
"Tentang dia yang datang dikehidupanku Yah, Bun. Tentang dia yang ingin mewarnai hidupku, namun hidupnya sendiri buram." Entah siapa yang aku ceritakan. Tapi entah kenapa melakukan ini membuat rinduku sedikit tak kurasakan. "Tentang dia yang juga sama sepertiku Yah, Bun. Sama seperti aku yang ditinggal orang tuanya di Panti, tapi sayangnya dia diangkat bukan oleh malaikat seperti Ayah dan Bunda."
"Teralalu banyak kesedihan yang dipendamnya Bun, Yah. Tapi semuanya terlihat ringan untuknya, pikirannya selalu ia tujukan kearah positif, dia selalu belajar makna sesuatu."
"Aku seakan iri dibuatnya kenapa ia selalu bisa menerima semuanya? Sedang aku masih saja terus merasa sakit jika mengingat Ayah sama Bunda? Tapi dengan waktu yang sama dia mengajariku tentang makna semuanya dan mengajariku ikhlas secara perlahan."
"Bunda sama Ayah tahu siapa yang pertama kali membuatku tersenyum setelah Ayah sama Bunda pergi? Dia Yah, Bun. Dia yang membuatku tersenyum pertama kali, dia yang membuatku berani membuka mata untuk menatap hujan lagi, dia mengajariku suara hujan yang tak seharusnya dibenci, namun dijadikannya lagu-lagu menenangkan."
"Tentangnya semua terkait dengan hujan." Aku terus menjelaskan, entah siapa kujelaskan. Aku sadar orang meninggal tidak akan mendengar. Tapi aku nyaman melakukannya, biarlah aku menghibur diriku sendiri, meski dengan cara yang ganjil.
"Yah? Bun? Kalian dulu pernah menanyakanku tentang mimpiku, dan aku hanya menjawab ingin menjadi dokter bukan? Tapi sekarang aku tak ingin lagi menjadi dokter, keinginanku hanya hidup dalam dunianya, aku ingin sama-sama berjuan kayak cerita Ayah dan Bunda dulu yang pernah Ayah dan Bunda ceritain." Aku kembali menjelaskan angin malam. Yah sekarang hanya angin malam yang menemaniku di Balkon dan juga bintang-bintang diatas sana yang masih setia berkilauan.
"Yah? Bun? Apa mimpi bidadarimu terlalu jauh?" Hmmm aku jadi ingat panggilan Ayah dan Bunda, mereka selalu memanggilku dengan bidadari kecil. Menurutnya aku selalu kecil dimatanya, dan harus selalu dimanjakan olehnya. Akhhh, Yah, Bun Bidadari kecilmu sangat rindu. Air mataku kembali menetes dengan derasnya. Aku terisak dengan sendiriku, sungguh aku benar-benar sepi saat ini.
Aku memutar bola mataku menahan perih. "Yah? Bun? Bukannya kalian pernah bilang mimpi itu gak jauh, jika kita bangun dan mengejarnya." Lagi. Aku kembali berujar.
"Aku yakin Yah, Bun. Tak perlu mengejarnya, karna berjalanpun aku bisa hehe." Aku mengusap mukaku sambil tersenyum, akhh rasanya ada kelegahan.
Tunggu! Aku mendengar suara bel rumah berbunyi? Malam-malam begini? Siapa yang bertamu? Apa simbok yang pulang? Atau dia? Aku langsung masuk kamar dan menyambar jaketku, ah ralat. Tepatnya jaketnya yang kupake tadi. Lalu aku langsung turun dibawa dan menuju pintu utama untuk membukakan pintu.
Mataku mengerut saat melihat siapa dibalik pintu. "Dengan nona pelangi?" Tanya orang itu. Eh? Orang itu memanggilku dengan sebutan itu? Dimana dia tahu? Bukannya panggilan itu dari tuan hujan doang?
"Nona pelangi?" Orang itu menyadarkanku dari lamunanku, aku spontan mengangguk. "Ini ada titipan dari seseorang." Orang itu menyodorkanku sebuah kotak sedang lalu menyodorkanku sebuah kantong hitam. "Ini dari siapa yah mas?" Tanyaku pada orang yang memakai merah hita itu. Seperti pegawai pengantar-pengantar sesuatu aja, eh emang iya kan? Hehe.
"Katanya ada namanya didalam kok nona," jawabnya. Akh, tanpa kubaca aku sudah tahu pasti darinya, siapa lagi kalau bukan?
Saat kurir tadi berpamitan aku langsung menutup pintu dan membuka kantong hitam itu. "Nasi bungkus?" Aku berjalan ke dapur dan memindahkan nasi beserta lauknya itu. Akhh dia selalu saja bisa membuatku senang, dia tahu dari mana aku belum makan?
Saat selesai makan aku langsung menuju kamar setelah sebelumnya mencuci pirin yang kupake tadi. Aku tidak sabar untuk melihat isinya kotak tadi, aku langsung merobek pembungkusnya dan melihat isinya.
Senyumku mengembang saat melihatnya. Sebuah kotak musik yang berbentuk piano, aku membuka tutupnya dan langsung dikejutkan dengan dua orang kecil yang langsung berdiri diujung kotaknya. Eh bukan orang, apa yah namanya? Boneka orang? Bukan. Akh intinya bonekalah.
Aku memainkan kotak musik itu, sungguh aku sangat senang. Saat aku hendak memencet salah satu tombolnya aku melihat sebuah lipatan kertas dikotak itu, Aku buru-buru mengambil lalu membacanya.
Hei Nona pelangi... udah tidur? Pasti belum, buktinya kamu membaca tulisan ini .
aku tersenyum membacanya lalu melanjutkan lagi.
Kamu udah makan? Aku kirimin makan, soalnya aku takut kamu kelaparan. Aku kirimin kotak musik, soalnya aku takut kamu kesepian... eh kotak musiknya udah dicoba? Coba yah? Kamu tidur gih, ini udah larut. Jangan mandangin bintang kek tadi,
Eh? Dia liat aku? Cenayan?
Mending kembali ke Kamar kamu sambil bayangin aku hehe semoga mimpi indah nona pelangi.
Tuan hujan
Dia liat aku? Apa taid dia ada dibawa? Eh? Entahlah. Aku tersenyum sambil memeluk kertas itu lalu menyimpannya kembali bersama kotak musik tadi.
Semoga mimpi indah juga Tuan hujan. Lirihku dalam hati lalu memejamkan mataku perlahan. Lagi, aku mengharapkannya mampir dimimpiku.
***
Aku mengerjap saat matahari kurasakan masuk diretina mataku, dengan mata yang berat aku mencoba membukanya dan aku tersentak saat melihat seseorang berdiri disamping ranjangku tengah menyibakkan gordenku. "Mbok?" Tanyaku kaget.
Kulihat simbok tersenyum kearahku. "Eh non? Udah bangun?" Tanyanya. "Kapan datangnya mbok?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya, kukira tanpa dijawab ia juga mengetahuinya. "Tadi non, mbok udah masak buat sarapan non," katanya.
Aku bangun dari baringku sambil mengucek mataku yang masih sangat berat, akibat tidur kemalaman ditambah menangis kelamaan.
"Non, sebaiknya sekarang mandi lalu siap-siap ke sekolah habis itu baru sarapan," suruh simbok lalu keluar dari kamarku. Begitulah simbok, ia sangat perhatian padaku. Sungguh! Aku sangat beruntung mengenalnya, memang Tuhan tak menakdirkanku hidup bersama orang tua kandungku, tapi Ia mempertemukan aku dengan malaikat-malaikat tak bersayap, seperti Ayah dan Bunda, juga simbok.
Dan juga dia. Saat Tuhan mengambil Ayah dan Bunda, Ia memberiku seseorang yang hebat, yang bisa membuatku tersenyum dengan caranya, ia bisa menghapus air mataku dengan caranya. Tuhan, sungguh! Engkau sangat sayang padaku, hal itu tak kuragukan lagi.
Aku menghembuskan napasku dan tersenyum memikirkan nikmatNya yang tak pernah habis Ia berikan padaku, lalu aku beranjak menuju kamar mandi. Sebentar lagi simbok akan berteriak, karna aku lama baru turun.
______________
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang dia (END)
Teen FictionDia seseorang yang aku kaitkan dengan hujan, dia seseorang yang mengajariku makna hujan yang bisa jatuh berkali-kali, dia seseorang yang mengajariku kebahagiaan menari dibawa lebatnya hujan. Tapi ini bukan soal hujan juga bukan tentang hujan, tapi i...