"Meira, maaf."
Kembali kudengar permintaan maafnya yang sedang membelakangiku menatap hujan dikegelapan. Rasanya lelah juga mengabaikannya, kuberanikan bangkit dari tidurku dengan hati-hati, lalu mengambil kantongan cairanku.
Aku turun di brankar dengan hati-hati, dengan air mata yang terus berjatuhan dan pelan aku berjalan kearahnya dengan lemah, saat benar-benar sampai dibelakangnya aku menatap punggun tegap itu lalu langsung menubrukkan tubuhku dipunggunnya dan memeluknya dari belakang dengan satu tanganku, yang sudah terlepas dari infus. "Aku rindu hujan, aku rindu tuan hujan, aku rindu kamu," ucapku membajiri baju kaosnya dengan air mata.
Dia menggenggam tanganku erat, lalu berbalik menghadapku. Dia memegan bahuku dan menatap mataku yang berair, aku mengalihkan pandanganku dari matanya sambil terisak. "Jangan nangis," ucapnya menarikku dalam pelukannya lalu mencium puncak kepalaku. "Aku ada disini," ucapnya lagi. "Kamu jahat," kataku terisak didada bidangnya. "Iya aku jahat, aku menghilang satu hari. Tapi jujur tadi siang sepulang sekolah aku baru ingin menemuimu dan pas istirahat aku mendengar kamu terjatuh ditangga," jelasnya.
"Aku mencarimu," serakku. Lagi. Lagi dia mencium puncak kepalaku. "Husst jangan cengen, istiriku gak cengen kek gini," ujarnya membuatku mengernyit. "Istri?" Tanyaku pelan. "Maksudnya calon hehe," kekehnya lalu melepas pelukanku. "Ayo, kembali lagi baring." Dia menuntunku kembali barin di brankar itu.
"Ayo makan dulu," pintanya hendak menyuapiku, aku menatapnya sejenak sambil tersenyum. "Ayo," pintanya lagi. Aku langsung membuka mulutku dan dia langsung memasukkan bubur ayam itu kemulutku. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, aku pun tak tahu. Sepertinya ada rindu yang menyarang disana. "Kamu rindu?" Tanyaku pelan.
Dia mengamgguk. "Iya, aku rindu kamu," ucapnya, kuliat dia menyeka bening dimatanya. Aku tersenyum. "Maaf, tadi aku mengabaikanmu," ucapku menatapnya memelas. "Gak papa." Dia menggeleng lalu kembali menyuapiku.
***
Mendengar suara speaker mesjid yang sedang melantunkan ayat-ayatNya, membuatku terbangun. Mungkin aku baru tidur dua jam yang lalu, kulihatnya dia sedang tidur disampingku sambil duduk dan tangannya ia jadikan bantal. Kulihat garis-garis wajahnya dengan seksama, kayak dejavu. Akhhh aku langsung beralih menatap diluar, sepertinya masih hujan.
Dengan hati-hati aku turun dari brankar sambil memegan kantongan cairan dan berjalan kearah dinding kaca melihat hujan sambil mendengarkan ayat-ayatNya yang masih mengalung merdu dimeshid. Tak terasa air mataku menetes. "Ayah, Bunda," lirihku melihat langit gelap diatas sana. "Rindu, rasanya sakit banget."
Aku menoleh kearahnya, dia masih tertidur pulas. Aku kembali menatap hujan diluar, air mataku kembali berjatuhan.
"Meira."
Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggilku, sepertinya dia sudah terbangun. "Kamu kenapa bangun? Kok nangis?" Tanyanya panik lalu menghampiriku. Aku tak menjawab, dia kembali membawaku kepelukannya. "Aku rindu Ayah sama Bundaku," ucapku. "Iya," sahutnya sambil mengelus rambutku.
"Adzan, mau shalat? Biar tenang," ucapnya saat adzan telah berkumandang. Aku mengangguk dalam pelukannya. Dituntunnya aku menuju kembali ketempat tidur lalu memanggil dokter untuk melepas infusku, karna bisa terganggu jika sedang shalat. "Tayammun aja yah?" Pintanya, aku mengangguk. "Aku gak tau tayammun," kataku. Bukannya tidak tahu, tapi entah bagaimana aku lupa. Aku hanya ingat aku pernah tahu, tapi udahlah mending aku bilang saja tidak tahu, toh kalau aku bilang lupa sama aja.
"Ya udah, ikutin aku yah?" Diperaktikkannya cara tayammun beserta niat-nya, aku mengikutinya. Setelah selesai dia pergi mengambil air wudhu lalu kembali dengan peci hitam dan baju kokoh putih serta sarung, Masha Allah, Fabiayyi Ala Irabbikuma Tukassiban? Jujur aku sangat mengaguminya saat ini, entah dimana ia mengambil semuanya. Aku pun tidak ingin menanyakannya. Dia tersenyum kearahku penuh arti, kulihat matanya memerah. Apa ia habis nangis? Hmm mungkin kurang tidur saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang dia (END)
Teen FictionDia seseorang yang aku kaitkan dengan hujan, dia seseorang yang mengajariku makna hujan yang bisa jatuh berkali-kali, dia seseorang yang mengajariku kebahagiaan menari dibawa lebatnya hujan. Tapi ini bukan soal hujan juga bukan tentang hujan, tapi i...