Amarini mo moroi no ne, kimochi wa tayasuku yurete…
Yogaakeru to kieru, kotae sagashi teru…
Tada tachihadakaru kono close road, michishirube ni naru starlight,
Ne oshiete hoshi no, ikubeki basho o…
Kon’nani tokute, kujike-sode mo, tenmei o matteru, kore ga destiny…
Todoroki o utsu aranami ni marude, muryokude chisana watashidakedo…
Umi sae kitto, warete sokoni michiwotsukuru…
Itsunohika, we can be divine…***
‘Drrrtt…Drrrtt…!’
HP itu telah beberapa kali bergetar, namun si empunya masih saja enjoy berpose di depan kamera DSLR dengan gaunnya yang terlihat sedikit ribet. Tak lama, datang seorang pria yang kemudian mengambil HP model itu. Tepat saat model itu selesai dengan sesi pemotretannya, dia disodori HP oleh laki-laki yang baru datang.
“Baru datang kah Fer?” Tanya model itu.
Laki-laki itu mengangguk.
“Jadi bagaimana hasilnya?” Laki-laki itu tampak menghela napas sejenak.
“Ternyata agak susah meyakinkan orang-orang tua itu. Tanpa kau disana, mereka jadi agak sengak dan sokk!” Sungut laki-laki yang dipanggil Fer itu. Well, namanya Ferry.
“Hahahaa…” Model itu tertawa besar.
“Well, ternyata wajah mengintimidasimu itu sangat berguna disana Fif.” Khafif tersenyum.
Ya, namanya Khafif, lengkapnya Khafif Sastrowardojo. Seorang model androgini yang sedang naik daun dan juga seorang pengusaha property dan resorts. Masih muda, 22 tahun usianya.
“Aku lihat tadi ada missed call dari kakak mu,” Ujar Ferry.
Ferry sendiri adalah sekretaris pribadi Khafif. Dulu Ferry adalah kakak tingkat Khafif di bangku kuliah. Mereka berdua berteman baik, Ferry yang menjadi sekretaris pribadi Khafif sangatlah hapal dan paham bagaimana Khafif itu. Luar dalam, dia sangatlah tahu Khafif bagaimana sifat dan sikapnya secara pribadi juga sosial. Ferry tahu seberapa suksesnya Khafif, betapa terkenalnya dan bahkan ia tahu seberapa kayanya Afif itu. Salah satu pewaris dari Sastros group, salah satu keluarga konglomerat di dunia.
Khafif tampak menelpon seseorang, hingga beberapa lamanya.
“Halo Mas, kenapa?” Tanyanya pada seseorang di ujung telpon, kakaknya.
“(……)”
“Astaga, iya aku lupa. Besok kan?”
“(……)”
“Aku juga tidak tahu, aku akan lihat jadwalku dulu.”
“(……)”
“Baiklah, kita lihat saja nanti. Iya, bye!!” Khafif melihat pada Ferry.
“Jadi, apa agendaku untuk besok Fer?” Tanya pemuda yang memiliki rambut sebahu itu.
“Tidak ada. Seminggu yang lalu kau sudah memintaku untuk mengosongkan jadwalmu untuk besok. Kau dan teman-temanmu di The Socialist di undang untuk menghadiri acara di UWM kan?” Khafif mengangguk dan bernafas lega.
Ia merasa sangat beruntung memiliki sekretaris yang begitu tanggap dan tangkas seperti Ferry. Ia yang gampang lupa akan sesuatu merasa sangat terbantu dengan adanya Ferry.