02

3.4K 155 5
                                    

***

Begitu tiba, The Socialist segera turun dari bus. Tau-tau mereka dikeroyok wartawan yang ternyata telah tiba lebih dulu. The Socialist terpecah menjadi beberapa kelompok.

“Ahh, aku ke toilet dulu!” Pamit Jerry pada Khafif, dan Khafif mengangguk. Didepannya masih ada wartawan yang sedang mewawancarainya. Hanya seorang wartawan yang bertanya, dan yang lain focus merecord.

“Jadi, kami dengar Khafif kemarin pemotretan ya?” Tanya wartawan news pria dari salah satu stasiun tv terkenal itu.

Khafif tersenyum sambil mengangguk.

“Iya Mas, kemarin ada pemotretan. Masih di kawasan ibu kota aja.” Jawab Khafif ramah.

“Dan sekarang masih sempat kesini, tidak lelah kah?” Tanya wartawan ber name tag Y. Wahyu J. itu.

“Lelah sih Mas, tapi kan tau sendiri, saya tuh suka ama acara yang berbau bisnis kayak gini. Jadi mau lelah model gimanapun ya hayyuk aja deh kalau ke acara bisnis macam ini.” Jawab Khafif dengan diselingi tawa. Wartawan-wartawan yang ada didepannya pun tertular tawa.

“Katanya Mas Tyan Sastro mau jadi pembicara juga ya?” Tanya wartawan wanita yang ada disebelahnya wartawan Wahyu.

“Iya Mbak, kakakku ngisi di acara itu. Nggak tau deh nanti mau ngomong apa orang lebay kayak dia, nanti pada masuk kan semua? Kapan lagi bisa ngeliat Septyan Sastro bicara bener? Hahaha…” Canda Khafif dan diikuti tawa para wartawan.

Sesi wawancara itupun berakhir ketika ada yang memberi tahu bahwa acara akan segera dimulai. Semua member The Socialist juga para wartawan masuk ke audithorium untuk mengikuti acara yang bertemakan bisnis itu.

Acara sudah dimulai beberapa saat yang lalu. Audithorium itu tampak padat sekali. Terlihat kamera-kamera jurnalis berjejer mentereng di depan stage utama.
Khafif tampak duduk sendiri di salah satu baris, dan dia duduk paling pinggir. Ada dua kursi kosong disampingnya. Ia baru saja ditinggal Irma ke toilet, sepertinya ada sesuatu terjadi dengan pencernaannya.
Seseorang berjalan dan mendekat kearahnya, ia yang tidak sadar segera menoleh saat orang itu berdehem.

“Ehemm…!”

“Iya?” Khafif menyipitkan mata.

“Boleh bergabung? Aku tidak mendapatkan kursi yang disediakan untuk para wartawan.” Kata pria berseragam wartawan itu.

Khafif tersenyum lalu mengangguk.

“Silahkan!” Mereka berdua diam. Khafif tampak fokus memperhatikan pembicara dari The Socialist, sedangkan wartawan disampingnya tampak canggung.

“Emmh, sendirian saja?” Wartawan itu mencoba akrab.
Khafif menoleh dan tersenyum, manis.

“Iya untuk sementara ini tadi, lalu sekarang tidak. Kan sekarang ditemani Mas Wahyu.” Canda Afif yang disambut dengan tawa renyah wartawan bernama Wahyu itu. Wartawan itu adalah wartawan yang mewawancarainya tadi pagi, sebelum masuk ke audithorium.

“Jadi memang benar-benar sendiri, rasanya aku datang pas perfect timing ya?” Ganti Wahyu yang melempar candaan, dan sukses membuat Khafif terkekeh.

“Haha, bisa saja. Aku tadi bersama Irma, sekarang dia sedang ke toilet.” Jawab Khafif tampak tersenyum manis, dan berhasil menggetarkan hati Wahyu.
Wahyu tidak tahu tentang orientasinya, tapi dia pernah berpacaran dengan seorang wanita. Ia tidak pernah sekalipun merasa tertarik apalagi jatuh cinta pada orang yang sama-sama berdada rata sepertinya, tapi baru kali ini ia merasa nyaman. Tapi ia harus tetap sadar, siapa ia dan siapa Khafif. Bukan karena masalah wealth atau property, jika kalian tidak tahu, Wahyu pun adalah anak dari CEO salah satu media group yang cukup besar di negeri ini. Ini lebih ke masalah image.

DIVINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang