09

3.5K 143 20
                                    

***

Khafif terskak. Ia bungkam dan tak bisa menjawab.

“Kenapa ayah diam? Aku…”

“Cukup Marvin! Sekali lagi ayah bilang cukup! Jangan pernah lagi kau mengungkit hal ini dengan ayah, atau lebih baik kita tidak usah saling bicara lagi.” Khafif berteriak dengan berurai air mata. Emosinya tidak bisa dibendung lagi. Akhirnya ia meninggalkan Marvin menuju ke kamarnya, dan dengan keras ia membanting pintu kamarnya sampai terdengar oleh Marvin yang berdiri di ruang tengah.

Marvin terduduk. Ia kembali terpekur oleh pikirannya sendiri. Apa memang benar. Apa yang sesungguhnya terjadi pada masa lalunya juga tentang ayahnya? Apa memang benar kalau ia hanya anak angkat. Karena memang tidak mungkin kalau ia harus membenarkan gossip tentang ayahnya 17 tahun lalu. Jadi kemungkinan besar kalau ia memang anak angkatlah yang paling masuk akal.

Pantas saja seluruh keluarganya bungkam tentang ibunya. Karena ia memang hanyalah anak angkat. Yang tidak pernah diketahui siapa orang tua kandungnya. Siapa ayah dan ibunya yang sejati, sungguh tidak ada yang tahu. Dan keluarganya yang sekarang dangan sangat pandai menutupi darinya selama ini.
Ia sekarang hanya bisa merutuki nasib, ia bingung entah harus sedih atau bagaimana. Ia pusing, ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian ia hempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Ia sungguh tidak tahu harus berbuat bagaimana.

“Marvin? Sudah makan siang sayang?” Tanya eyang putrinya yang tiba-tiba muncul. Marvin mengangguk.

“Sudah eyang.” Jawab Marvin pendek.

“Tadi sepertinya eyang dengar suara ayahmu. Kemana dia?”

“Di kamar, istirahat.” Jawab Marvin, masih memejamkan mata.

“Kau kenapa? Apa kau sakit?” Tanya eyangnya khawatir, tidak biasanya Marvin seperti itu. Marvin menggeleng.

“Engga eyang, cuma ngantuk aja.” Jawab Marvin berbohong.

“Oh, eyang kira kamu sakit. Ya sudah, istirahatlah di kamar sayang! Eyang juga mau ke kamar, mau mijitin kakungmu!” Ujar eyangnya. Marvin kembali mengangguk tanpa membuka mata. Lalu eyang puterinya pergi ke kamarnya meninggalkannya sendiri.

Marvin masih bisa belum bisa tenang dan berpikir jernih. Pertanyaan tentang jati dirinya masih saja berputar-putar di dalam kepalanya. Sampai keheningan disitu terusik dengan suara orang-orang yang tengah bercanda. Kemudian pintu terbuka dan masuklah Tyan, Irma dan Inez.

“Ehh Marvin, sedang apa?” Tanya Tyan pada keponakannya itu. Keponakannya hanya memandangnya sedih. Ketiga orang yang baru datang itupun lekas sadar kalau ada apa-apa dengan keponakan mereka.

“Marvin! Kenapa nak? Cerita pada tante!” Inez mengelus rambut Marvin lembut.

“Kalian…” Suara Marvin tercekat. Ia merasa tidak akan mampu berkata-kata.

“Heyy! Ada apa? Kau ada masalah? Ceritakan pada kami!” Giliran Irma yang bersuara.

“Apa Om dan tante bisa membantuku?” Tanya Marvin pelan. Ketiganya langsung mengangguk.

“Tentu, ayo! Katakanlah! Apa yang bisa kami lakukan untukmu sayang?” Irma berucap sambil menatap lembut pada keponakan yang selalu ia manjakan itu.

“Kalian janji mau mengabulkan apapun yang ku minta?” Marvin bertanya. Tyan, Irma dan Inez saling bertukar pandang bingung.

“Ada apa sih? Jangan buat Om dan tante khawatir, Marvin!” Inez tahu kalau keponakannya itu sedang kalut.

“Janji dulu!” Desak Marvin.

“Alright, okay! We promise you!” Jawab Inez cepat disusul dengan nggukan Tyan dan Irma.

DIVINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang