Bagian 22

827 74 0
                                    

California,
Senin, 04 April 13.27 PM

Kini Max dan Annabeth sudah berada di sebuah kedai kopi di persimpangan jalan. Mereka duduk saling berhadapan, saling diam tanpa ada yang berbicara. Bahkan kopi yang mereka pesan dibiarkan dingin begitu saja. Tanpa di sadari oleh Max, tubuh Annabeth sedang bergetar hebat karena rasa gugup berlebihan yang menyerangnya. Bahkan jari-jarinya saling bertautan di bawah meja dengan kaki yang bergerak-gerak.

"Annabeth," ucap Max membuka suara. Meninggalkan suasana canggung di antara mereka.

Dengan terpaksa Annabeth mengangkat kepalanya, menatap sorot kasih sayang dari bola mata hitam milik pria di hadapannya. "Bicaralah!"

Max menggeleng. "Annabeth, tidak seharusnya kita seperti ini. Bahkan aku merasa dihukum dengan kesalahan yang tidak aku ketahui."

"Jika kau ingin membahas masa lalu, lebih baik aku pergi."

"Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kau tau masih banyak teka-teki di antara kita. Kau tidak bisa lari dari masa lalu, Annabet!"

"Ini salahmu," ujar Annabeth dengan suara lirih.

Max menarik nafasnya, lalu ia berdecih. "Bahkan aku tidak tau kesalahan apa yang aku perbuat."

Max mengeluarkan secarik kertas yang sudah lama ia simpan. Kertas yang ia dapatkan dari kematian Evelyn. Ia memberikan kertas tersebut kepada Annabeth yang mengkerinyit bingung.

"Apa ini?" tanya Annabeth

"Bacalah."

Dengan ragu Annabeth mengambil kertas tersebut. Awalnya ia bingung, mengapa ada bercak darah yang mengering di kertas tersebut. Tetapi ia tak berkomentar, akan ia tanyakan kepada Max hal itu nanti. Tanpa diduga, Annabeth  menjatuhkan kertasnya ke atas meja. Ia bahkan menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. Ia terkejut, pesan itu ditulis dengan tulisan yang sama. Tulisan yang ia dapatkan kemarin.

"Apa dia---" bahkan Annabeth tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia tidak takut, tapi yang ia khawatirkan adalah keselamatan Max. Pria yang sampai saat ini masih ia cintai.

"Kurasa dia menyelipkan ini saat ia ingin menurunkan Evelyn. Dia mengawasi kita Annabeth, aku tidak bisa membiarkannya melukaimu." Max mengambil tangan Annabeth yang masih menutupi mulut wanita itu, menggenggam kedua tangan kecil itu sambil mengelus punggung tangan Annabeth menggunakan ibu jarinya.

"Aku tidak ingin kehilanganmu, untuk kedua kalinya, An."

Annabeth mengangkat kepalanya. Menatap Max dengan mata sendunya, merasakan hatinya yang menghangat karena perlakuan yang diberikan oleh pria itu. "Kenapa?"

Max mengangkat alisnya tidak mengerti. "Kenapa kau melakukannya, KENAPA?!" tiba-tiba saja Annabeth berteriak. Mengabaikan para pengunjung yang memperhatikan mereka. Sudah cukup pertahanan yang ia buat selama ini. Annabeth sadar, tidak selamanya ia bisa berpura-pura kuat padahal hatinya sangat lemah dan rapuh.

"Kenapa? Karna aku ingin melindungimu, An."

Dalam tangisnya pun, Annabeth masih bisa menyeringai. "Omong kosong!"

"Aku tidak selemah yang kau pikirkan, Max!"

"Aku tau, kau wanita yang kuat, sayang. Apapun yang kau pikirkan, bukanlah itu alasannya."

"Lalu apa, merasa bersalah!" Annabeth terus menghardik Max tanpa membiarkan pria itu untuk menjelaskan.

"Aku mencintaimu."

Annabeth diam, sulit mencerna apa yang baru saja ditangkap oleh telinganya. Bahkan mereka membiarkan waktu terus berjalan, menikmati kebisuan di antara mereka. Sulit rasanya Annabeth percaya dengan apa yang dikatakan oleh Max. Pikirannya mengatakan bahwa semuanya hanyalah kebohongan. Tapi anehnya hatinya seakan membenarkan hal itu. Membenarkan ungkapan yang baru saja diucapkan oleh, Max.

"Kau bohong," ucap Annabeth yang terdengar seperti bisikkan.

"Apa? Tentu saja tidak!"

Tiba-tiba saja Annabeth tertawa bersamaan dengan air mata yang semakin deras mengalir di pipinya. "Kau sangat pintar bicara, Max. Kau pikir aku akan percaya denganmu setelah semuanya terjadi."

"Bahkan aku tidak tahu apa kesalahanku, An!"

"Karna kau memang tidak merasa bersalah!"

"Apa kesalahanku sebesar itu sampai kau menghilang dariku?"

Annabeth tersenyum sinis, "Bahkan lebih besar dari apa yang kau bayangkan!"

"Katakan!"

"Apa?"

"Katakan apa kesalahanku. Sungguh aku benar-benar tidak tau." Max terdiam, matanya yang memerah menatap mata penuh air mata milik Annabeth. "Malam itu kita berjanji untuk bertemu di sebuah kafe. Tapi sampai tengah malam kau tak pernah datang. Bahkan saat aku mencarimu di rumahmu keesokan harinya, kau tak ada. Pergi dengan mobilmu dan barangmu. Kau meninggalkan ku, An. Aku mencarimu selama sebulan penuh dengan pekerjaan yang membuat emosi tidak stabil serta kepergianmu benar-benar membuatku terpuruk. Aku sedih, aku menangis, mengabaikan perkerjaanku hanya untuk mencar---"

"KAU BERSELINGKUH BRENGSEK!" tanpa sadar Annabeth berteriak kencang. Bahkan wajahnya saat ini tepat berada di hadapan Max dengan bibir yang  membuat garis lurus. Ia sangat marah, marah karena seakan-akan ia yang membuat kesalahan. Seakan akan hanya Max yang menderita. Seakan semuanya terjadi karenanya, karena keegoisan dan keras kepala yang dimilikinya.

Max tercengang dengan fakta yang didengar olehnya. Perkataan Annabeth seakan itu adalah hal yang benar-benar terjadi. "Excusme, what? Are you crazy?!"

Annabeth tertawa sumbang. "Kau ingin mengelaknya, aku melihatmu Max."

"Mata ini," Annabeth menunjuk kedua matanya. "Melihatmu bersenang-senang bersama wanita lain."

"Aku tidak pernah berselingkuh di belakangmu!" sergah Max, ia tidak berbohong memang itu kenyataannya. Max sama sekali tidak pernah berselingkuh, bahkan berniat selingkuh dari wanita sesempurna Annabeth saja tidak.

"Kau pikir mataku bermasalah! Kau berselingkuh tepat di saat kau mengajakku berkencan malam itu! Aku melihatmu bersama wanita cantik bergaun biru. Kau tersenyum kepadanya, kau mengelus rambutnya, tertawa bersamanya, bahkan kau mengatakan kau menyayanginya, Max!" separuh hatinya lega mengatakan hal yang sudah mengganggunya satu tahun belakangan ini. Tapi separuh hatinya lagi terasa sakit saat ingatan itu kembali. Melihat Max bersama perempuan lain adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah ia rasakan.

Saat itu ia memutuskan untuk tidak menghampiri Max yang sedang bermesraan bersama wanita lain. Mungkin Max pikir ia akan datang terlambat seperti biasanya, sehingga lelaki itu dapat bertemu dengan wanita lain terlebih dahulu. Tapi beruntunglah karena ketepatan waktu, ia bisa melihat kelakuan busuk pria yang sangat ia cintai. Bertepatan dengan hal itu, seorang teman menawarinya untuk bersekolah hukum selama beberapa bulan dan ia memutuskan untuk menjadi detektif empat bulan yang lalu. Awalnya rasa sakit masih menggerogoti hatinya, membuatnya menjadi wanita pendiam tanpa banyak bicara. Sampai beberapa bulan berlalu, ia dapat membiasakan diri hidup tanpa Max bersamanya. Merelakan apa yang telah terjadi kepadanya.

Dan saat ini, kehadiran Max kembali membuat hatinya merasakan rasa sakit yang teramat dalam. Membuat mimpi-mimpi itu semakin menghantuinya, membuatnya lelah karena kurang tidur di setiap malam.

Max tiba-tiba tertawa keras. Membuat ia bingung dengan kelakuan pria itu. "Tidak ada yang lucu detektif Hunter!"

"Semua yang kau lihat hanyalah sebuah kesalahan..."

 A Lady of Killer (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang