k̶a̶l̶o̶p̶s̶i̶a̶

2.8K 361 15
                                    

Alaia bingung sekaligus cemas, sejak 20 menit yang lalu Ia hanya mondar-mandir tepat didepan ruang operasi. Sejenak berhenti untuk mengatur nafas, namun sedetik kemudian kembali melanjutkan aksinya. Kepalanya sungguh pusing, ingin pecah saja rasanya.

Kejadian satu jam yang lalu juga masih membekas dalam ingatan. Bagaimana syoknya Alaia saat melihat putrinya— Risa, tertabrak sebuah mobil tepat di depan mata. Saat itu juga, seakan dunia sudah hancur berkeping-keping.

Menyisakan rapalan doa yang masih tersemat dalam hatinya, Alaia berlari ketika mendengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok kedua orang tuanya yang baru saja tiba dari Denpasar. Ia akhirnya menangis dalam pelukan sang Ibu. Keduanya pun saling menguatkan satu sama lain. "Aku gak bakal maafin diri aku, Bun.. gara-gara aku Risa—"

Ibunya menenangkan, tersenyum mengelus sisi pipi merah delima anaknya. "Bunda tau semuanya, jangan menyalahkan diri kamu sendiri okey?"

"Tapi..."

"Alaia! Dokter ingin bicara denganmu.."

Keadaan Risa sudah cukup membaik pasca operasi beberapa hari yang lalu. Alaia sekalipun tidak pernah meninggalkan bilik kotak ini, Ia terus berada disisi sang Putri. Melihat bagaimana damainya Risa tertidur selama itu, mengakibatkan sebelah hati Alaia patah. Ia sangat menyayangi putri kecilnya. Kalaupun bisa, Ia lebih ingin menggantikan posisi Risa saat ini.

"Sayang, ayoo bangun.. nanti Ibu ajak beli baju baru, belikan banyak mainan buat kamu, bangun ya..."

Alaia menggenggam tangan mungil milik Risa. Gadis 4 tahun itu tidak menyahut, matanya masih terpejam. Lalu Alaia, kembali tersedu berurai air mata. "Ibu sayang sekali sama Arisa..."

Gadis dengan sapaan Alaia itu tak bisa mempercayai apa yang Ia lihat saat ini, sebuah tespack dengan dua garis biru diperlihatkan sang Ibu yang menatapinya terharu. Ia akan menjadi seorang Ibu, Ia telah berbagi kehidupan dengan sosok mungil dalam perutnya saat ini.

Sembilan bulan lebih menunggu dengan begitu sabar, menjadi orang yang paling semangat menyiapkan segala hal, membuat kedua orang tuanya yakin Alaia menjadi Ibu yang luar biasa nantinya.

Dan itu terbukti hingga putinya terlahir dan tumbuh menjadi gadis yang begitu manis, penghibur Alaia ketika Ia merasa sedih. Hidup Alaia benar-benar sebahagia itu ketika Arisa hadir ditengah-tengah keluarganya.

"Alaia, ada yang mau ketemu kamu" Suara berat itu membuyarkan lamunan Alaia, Ia menoleh dan segera menyeka sisa air mata. "Tadi Aku sudah suruh masuk, tapi dia nggak mau.."

"Siapa Zi?"

Razi— Tunangan Alaia, terdiam. Ia hanya tertunduk tidak berani. Alaia paham, dari kaca pintu, sesosok lelaki berdiri dengan wajah tak terbaca. Alaia mengamati, lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Bilang Aku gak mau ketemu dia"

"Tapi Al dia—"

Alaia mencebik, "Aku minta tolong ya, tolong kasih tahu dia kalau soal maaf udah Aku maafin. Tapi Aku nggak mau ketemu dia"

Razi tidak bisa berbuat banyak, wajah lelah Alaia sudah menjelaskan semua. Dengan berat hati, Ia menghampiri sosok diluar sana. "Dia tetap nggak mau ketemu lo Ed.."

"Semarah itu ya dia sama gue?"

Edgar, mantan kekasih Alaia atau sebenarnya mereka belum berpisah karena dulu tidak pernah ada kata pisah diantara keduanya. Lelaki itu tiba-tiba pergi tanpa kabar, meninggalkan Alaia yang tengah mengandung kebingungan tanpa arah. Sosok yang membuat Alaia tidak pernah terlihat lagi bersama lelaki manapun, tidak sampai Ia bertemu dengan Razi dan memilih untuk bersama dengan tunangannya itu.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang