Midnight Call

2K 258 16
                                    

01.56 AM

Joa menghitung waktu, sudah selarut ini dan Dia belum juga pergi tidur. Matanya sayu, menahan kantuk yang sedari tadi mendera. Namun, Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Jika bukan karena ulah teman satu kelompoknya, mungkin Joa sudah tersenyum lebar menonton potongan adegan skenario mimpi yang sudah di susunnya setiap ingin tidur.

Gadis itu berkali-kali menguap, mengacuhkan suara diseberang sana yang terus meracau mengenai ini dan itu, tapi banyak tidak jelasnya. Kalau mau tahu, Ya, laki-laki dalam panggilan telepon ini lah si teman satu kelompok penyebab tidur panjang Joa jadi terhambat.

"Lo ngantuk, Jo?"

Sinting.

"Jangan tidur dulu... ntar gue ngerjainnya sembarangan. Lo sih pake acara hilang kemaren"

Emosi Joa mendadak terkumpul, mata sayunya berubah menjadi kilatan amarah. "LO PIKIR HIDUP GUE 24 JAM CUMA NGURUSIN LO DOANG APA HAH????!"

"Santai, Jo. Suara lo sampe kedengeran ke kamar gue"

"BODO AMAT. GUE BENERAN KESEL SAMA LO, DIBILANG JANGAN NGERJAIN PAS MEPET DEADLINE TAPI LO MALAH ASIK PACARAN SANA SINI. DASAR BUAYA"

Joa kemudian menetralkan nafasnya yang memburu, berusaha menenangkan emosinya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Laki-laki itu benar-benar membuat Joa kehilangan kesabarannya.

Harusnya dia bersyukur Joa masih mau menemaninya begadang, masih membantunya mencari jurnal yang dibutuhkan demi melengkapi tugas mereka. Harusnya dia berterima kasih, bukannya menyulut amarah Joa.

Tentu itu hanya khayalan Joa saja, mana bisa laki-laki itu bersikap manis dengan dirinya. Sementang merasa mereka sudah dekat lantaran saling mengenal sejak kecil karena rumah bedekatan dan sekarang berkuliah di jurusan yang sama, laki-laki itu berbuat semaunya saja.

Tapi alih-alih menyumpah, Joa lebih merutuki dirinya sendiri yang mengambil jatah bolos ketika pembagian kelompok berlangsung. Karena itu lah, akhirnya Ia terjebak satu kelompok dengan laki-laki yang kerap Ia panggil— Esa.

Mahesa Mahaputra. Dari namanya saja, Joa sudah tahu kalau karakter laki-laki ini banyak mau. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada sama sekali yang berubah dari Esa. Dia tetap menjadi paling menyebalkan diantara ratusan teman laki-laki Joa. Berbeda dengan sang Kakak yang kalem dan irit bicara, Esa adalah perwujudan tidak terduga. Sampai pernah satu hari Joa bertanya pada Tante Raya— Mama Esa.

"Tante kok bisa punya anak kayak Esa?"

Terdengar kurang ajar memang, tapi Tante Raya hanya menanggapi dengan suara tawa yang memenuhi meja makan hari itu.

"Lo tanya gitu ngarep gue nggak ada?"

"Eh? Tante sama Bang Raka ada denger suara-suara tuyul nggak? Ihhh Joa merinding"

"Sialan"

"Woy!" teriak Esa dari sambungan telepon. Seketika menyadarkan Joa dari lamunannya. Netra gadis itu memicing, "Udah selesai nih, udah gue kirim juga. Thanks Ana" ujarnya diiringi ulasan senyum sederhana. Membuat Joa kelimpungan dibuatnya.

"Tumben banget manggil gue Ana? Ada maunya kan lo pasti?"

Seperti diduga, Esa justru tertawa. "Temenin gue makan nasgor depan komplek dong, laper nih. Dari kemaren nggak ada makan" kata Esa memohon.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang