46 💓 Bazar terakhir

1.2K 73 2
                                    

Aku menunggu om Haris di kedai kopi, pendapatku kemarin mendapat umpan baik dari om Haris. Rencananya, kami akan mengunjungi apartemen Rey yang tidak jauh dari kedai kopi sekitar sini. Aku hanya membantu, setidaknya mungkin menjadi moderator. Menjaga-jaga agar ayah dan anaknya tidak membuat keributan lagi.

Layar handphoneku menampilkan pesan om Haris membaca setiap kata yang di ketika olehnya, setengah jam aku menunggu disini. Belum melihat batang hidung om Haris 

From : 081xxxxxx

Om bakalan coba, rencana kamu. Bantuin om ya, jam 5 sore kita bertemu di kedai kopi kemarin.

"Maaf, Stefanny. Om terlalu lama ya? Tadi ada meeting mendadak, di jalanan juga hujan." om Haris dengan baju putih polos yang di lipat hingga siku, rambutnya yang agak rapih sedikit agak acak-acakan."Kita langsung ke apartemen aja, apa kamu bawa motor?"

"Iya, aku bawa motor om."

"Yaudah ngga apa-apa, motor kamu titip disini saja, kita berangkat pake mobil om."

Aku menyetujui itu, lagian aku tidak mungkin membawa motor ketika hujan-hujanan. Bajuku akan basah kuyup sesampai di apartemen, belum lagi aku akan kedinginan. Kami menuju apartemen Rey, dari tadi pagi kekasihku yang tak pernah aku anggap begitu. Sudah mengirim  alamat apartemennya, om Haris saja tidak tau keberadaan anak dan istrinya sekarang. Membuatnya sangat khawatir, aku bisa melihat dari raut wajahnya.

Gedung apartemen yang menjulang tinggi, dan mewah. Aku menoleh ke arah ke sekeliling. Banyak sekali orang yang berlalu lalang. Aku sudah mengingat-ngingat nomor lantai dan nomor kamar.

Saat beberapa orang berhamburan keluar dari lift, om Haris yang ada di belakangku mengikuti langkahku yang masuk lift. Hanya kami berdua yang ada di dalam lift, aku melihat angka lantai yang terus naik.

"Kamu yakin rencana ini akan berhasil?" raut wajahnya tampak khawatir dengan kegelisahan yang tiba-tiba datang,"Apa om, tidak terkesan menyakiti mereka lagi dengan memberitahu yang sebenarnya?"

"Saya yakin sekali, kalo Rey sama tante Nirina. Pasti memaafkan om, nerima om kembali." aku meyakinkanya, padahal aku meyakinkan diri sendiri juga. Bilang rencana ini tidak berhasil, apa yang aku harus lakukan setelah ini?

TING!

Pintu lift terbuka menunjukan lorong kamar yang sepi. Aku melirik ke arah om Haris yang sudah mulai gelisah.

"Asal om, jelasin dengan baik, Rey pasti ngertiin kok." tambahku yang menginggit bibir dengan khawatir,"Nomor kamarnya 23."

Kami menyusuri kamar-kamar lainnya, pijakan sepatu  yang menimbulkan berdecit-decit di lorong. Aku terus memperhatikan nomor apartemen yang menempel di depan pintu, dalam hati aku bergumam,"20..21..22..."

Aku menoleh ke arah om Haris yang sudah membuang kegelisahannya menjadi bersikap tenang, aku mulai mengetuk-ngentuk pintunya beberapa kali bahkan aku sudah menekan belnya dengan tidak sabaran. Tidak ada sahutan sama sekali dari orang dalam, aku menghela nafas. Mengotak-ngantik ponselku untuk menelepon Rey tapi sama sekali tidak di angkat.

"Iya, Tunggu!" kini sahutan dari orang dalam, aku yakin suara Rey. Suara gaduh dan pekikan heboh dari dalam terdengar jelas.

Tante Nirina menegurnya, suaranya pelan tapi aku masih bisa mendengar ucapannya,"Bukain dulu, kesian Stefanny nungguin lama. Jangan dulu pake parfum!"

Aku menahan tawa, tapi tawa itu hanya sebatas selewat. Semuanya akan menjadi menegangkan saat Rey melihat aku dengan ayahnya, saat pintu terbuka wajah Rey yang sumringah memudar, keningnya mengernyit menatap pria yang ada di sampingku.

Romansa Cassandra (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang