57 💓 Cuma khayalan

1.4K 79 2
                                    

"Cancing cacing minggir!" Rangga menyusup ketengah duduk di antara Rio dan Ardian.

"Cacing-cacing. Lo curutnya!" tindas Ardian tak terima.

Aku dan Putri hanya terkikik, sedangkan hanya Rio yang mengabaikan kedua temannya itu. Kali ini, aku di seret untuk ke kantin oleh Putri. Berkumpul dengan teman-teman, menghilangkan penat di kepalaku. Selama empat hari setelah bertemu mereka di toko buku itu, aku belum melihat kehadiran Riri lagi di sekolah. Seharusnya aku tidak mempedulikan hal itu, tapi entah kenapa aku memikirkan keadaan Riri sekarang? Ralat bukan keadaannya tapi hubungan Riri dengan Noval, apa sudah berubah menjadi pacar?

Kalau memang iya, gosip itu akan menyebar di sekolah. Aku menatap sekawanan Rey yang sedang berkumpul di sudut kantin, seperti biasa. Mereka selalu duduk di meja itu. Punggung Rey menutupi tubuh Noval yang ada di hadapannya, aku mendesah pelan beralih pada Rangga yang merocos tentang kuliah, ia akan kuliah mengambil jurusan broadcaster sedangkan Ardian dan Rio, dua orang itu memilih untuk kuliah sambil kerja di perusahaan ayahnya. Terakhir Putri, akan memilih jurusan perawat. Seperti kemauan kedua orangtuanya.

Aku masih belum bisa memutuskan akan kuliah masuk jurusan apa, pikiranku selalu di penuhi masalah-masalah yang menimpaku hingga aku sendiri tidak pernah memikirkan diriku sendiri. Sekali lagi diam-diam kepalaku menoleh ke belakang melihat Rey yang masih terduduk dengan teman-temannya sedangkan Noval, sudah tidak duduk di sana lagi.

Kepalaku menoleh lagi ke arah Putri yang mengoceh tentang kampus yang paling bagus di kota Jakarta. Otaku tidak bisa berkonsentrasi mencerna semua omongan Putri, kepalaku di penuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak aku pikirkan.

Kemana ya Noval?

Berapa kali lagi, aku harus meyakinkan diriku sendiri untuk tidak memikirkan cowok itu lagi. Melupakan cara yang terbaik untuk tidak menyakiti siapapun, aku diam menunduk menatap kosong snack-snack yang berserakan di meja.

Hari ini, aku bisa menjalani semuanya sesuai harapanku. Meskipun terkadang rasa penasaran pada Noval masih ada. Perasaanku akhir-akhir ini selalu kacau, aku duduk manis di kamarku. Memandangi keluar jendela, hanya ada pemandangan atap-atap rumah. Jika di ulik-ulik lagi hubungan aku dengan Rey, ada sesuatu yang mengganjal dari sikapnya yang akhir-akhir tidak seprotektif dulu, sorot matanya yang tidak pernah bisa aku duga.

Kepalaku di penuhi oleh dua orang bersaudara itu, aku mengesah pelan. Berbalik untuk turun mencari aktivitas lainnya, pikiranku tertuju pada dapur. Dimana bi Inah penghuni si dapur yang selalu sibuk di sana, aku berlari untuk turun ke lantai dasar. Suara tawa yang meriah dari ruang tamu, aku sudah menebak mereka. Kalau mereka itu teman-temannya mamah sedang berkumpul. Pikirku, pasti bi Inah sibuk memasak di dapur.

Dengan semangat 45, langkahku semakin cepat memasuki daerah dapur. Tidak ada masakan apapun itu, hanya tersedia beberapa kotak pizza di atas meja, aku mencari keberadaan bi Inah yang sedang mencuci piring, setelah itu langkahnya menghampiriku yang sudah duduk di kursi meja makan.

"Nggak masak bi?" mataku terus memperhatikan gerak-gerik bi Inah yang membawa beberapa piring berbentuk lembaran daun ke meja makan.

"Nggak kak, nih mamah kakak udah beli pizza."

"Yaaaaaah." kataku dengan putus asa, sembari cemberut.

Ia memindahkan beberapa potong pizza ke piring yang tadi di ambilnya,"Sekarang hobbynya masak toh kak?"

"Ah nggak." kataku yang berdiri dengan tegap,"Yaudah, kakak ke kamar aja kali ya. Mau tidur siang."

"Sip okey."

Aku menyeret langkahku menuju kamar, tidak ada kegiatan lagi. Pergi ke mall, rasanya aku sudah bosan mengunjungi tempat itu lagi. Teringat bertemu dengan Noval dan Riri disana, aku jadi was-was bertemu lagi mereka. Hingga di depan pintu kamarku, aku belum bisa menemukan tempat untuk mengalihkan pikiranku.

Kaki ku menendang pintu kamar hingga bersuara bruk yang cukup kencang, aku beranjak ke ranjang. Menidurkan tubuhku di atas sana. Meninggalkan semua pikiran yang nemenuhi otak ku, perlahan semua itu lenyap di ikuti mata mulai terpejam. Suara-suara tawa dari lantai dasar itu seketika lenyap, aku berharap bisa seperti ini seterusnya. Melupakan semua permasalahanku.

Dua jam aku tertidur, aku membuka mataku perlahan-perlahan melihat ke anehan di sekitarku. Semuanya menggelap. Mataku tidak bisa melihat apapun lagi, selain mendengar suara.

"Mati lampu!" seru mamah di lantai dasar, suaranya begtu menggema di kupingku,"Bi tolong ambilin senter di dapur ya, kasian kakak di atas ke gelapan."

Aku menarik diriku untuk terduduk di ranjang memperhatikan jendela, samar-samar cahaya rembulan meyinari kamarnya. Dengan hati-hati beringsut turun dari tempat tidur, menatap ke luar jendela yang gelap. Di atas langit bulan menyinari atap-atap rumah-rumah, angin sepoi-sepoi meniup rambutku yang urak-urakan.

Getaran ponselku menyala-menyala di atas meja belajar. Nama Reynadi dwiputra terpangpang di layar ponselku. Aku mengangkatnya dengan cekatan, hingga suara getaran itu lenyap di gantikan dengan suara berat Rey.

"Gue ada di depan rumah lo. Lo bisa keluar?"  

"Hah? Oh iya, gue kesana sekarang."

Dengan rusuh, aku keluar dari kamar menuju ke depan rumah. Haya cahaya dari ponselku yang menerangin jalanku, yang gelap gulita. Bi Inah yang akan naik tangga, membawa senter berhenti melangkah. Aku malewatinya, menuju Rey sebelum ia lumutan di luar sana.

Nafasku tersenggal-senggal mendapati Rey yang duduk di motor sport hitamnya. Tampangnya yang urak-urakan, luka lebam di sudut bibirnya dan di sudut matanya. Spontan tanganku memegangi lukanya. Ia meringis pelan.

"Maaf..maaf.. Sakit ya? Gue obatin ya?"

"Nggak usah, Stef." sudut bibirnya tertarik ke atas hingga membuat senyuman yang sangat tipis,"Tadi gue ketemu Gaga. Dia bilang, semuanya. Kalo lo cari tentang masalalunya Noval. Sekarang gue yakin, kalo lo sebenernya  suka sama Noval dari awal."

Jatungku berhenti berdetak setelah mencerna semuanya.

"Diary lo itu udah nguatin semua buktinya, tapi gue masih nyoba bikin lo sayang sama gue." dia menggeleng, tersenyum terluka,"Tapi nyatanya emang nggak bakalan pernah bisa. Lo cuma khayalan gue, yang nggak pernah bisa gue dapetin. Raga lo emang milik gue, tapi hati lo.. Nggak bakalan bisa jadi milik gue."

Satu tarikan nafas, aku hanya menggumamkan kata,"Maaf, gue..gue.. bakalan coba buka hati buat lo."

"Nggak perlu." ia berdiri dari duduk dari motornya, tangannya terulur menyelipkan anak rambut ke daun telingaku,"Ngga perlu maksain buat hal itu. Gue emang egois, seharusnya pas gue baca diary lo itu. Gue ngelepasin lo. Bukan, makin pengen milikin lo."

Kecupannya mendarat tepat di keningku, ia tersenyum lagi mengadahkan wajahku yang menunduk,"Thank's ya?"

Aku mencengkram jaketnya.  Menatap sepasang bola matanya yang nyaris meredup,"Lo pantes marah sama gue! Lo marahin gue aja! Biar lo lega, biar-"

"Ssssssttss..." ia berdesis pelan memotong ucapanku,"Mana mungkin gue bisa marah sama lo."

Romansa Cassandra (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang