Bab 5

82 3 3
                                    


Terkadang kebetulan yang mengantarkan pada pertemuan”

***

“Lo ngapain disini!?” Senja menutupi keterkejutannya dengan berbicara ketus.

“Lo yang ngapain disini!?” Aditya yang melipat kedua tangannya, malah balik membentak Senja.

“Lo nggak lihat gue lagi mau nganterin pesanan, Sekarang panggilin pemilik panti!” Senja menunjuk kantong plastik merahnya dan menyuruh Aditya.

“Oh.” Aditya memutar tubuhnya mengayunkan langkah masuk ke dalam pondok panti.

“Oh doang? Adit!” Senja meneriakkan  Nama Aditya dengan kencang diiringi hentakkan kaki.

“Apa?” Aditya terhenti dan membalikkan badan dengan tampang bosan.

“Panggil pemilik panti!” Senja menekan secara tegas kalimatnya.

“Lo nggak lihat gue masuk kedalam?”  Aditya menghunuskan mata tajamnya.

“Hehe kirain.” Senja menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari cengegesan, Salah tingkah.

“Bego.” Aditya berlalu masuk kedalam, Sedangkan Senja cemberut oleh sebait kata yang baru pertama kali Senja dapatkan dari seorang cowok pemalas.

Apa-apaan dia mencela senja seperti itu, Siapa yang sebenarnya bego disini? Senja mengomel dalam hatinya.

Aditya keluar dengan mendorong kursi roda Pemilik panti. Dalam pemikiran Senja, Ada hubungan apa Aditya dengan pemilik panti ini?

Senja menyalin tangan wanita paruh baya itu ketika kursi rodanya sudah berhenti tepat didepannya, dia tersenyum ramah kearah senja.

Senja menatap dengan senyum lesung pipi, khas yang dimilikinya. Dia teringat akan sosok ibunya yang belum mendapatkan kursi roda kala melihat wanita paruh baya itu.

“Bu, Kuenya baru separuh Senja bawa, Soalnya senja hanya menggunakan sepeda.”

“Tidak apa Nak, Biar Didit yang bantu. Mau'kan Dit?” Wanita paruh baya itu Memegang kulit tangan putih Aditya. Lalu, Cowok yang baru saja dipanggil didit itu mengangguk.

Senja menahan senyumnya agar tidak keluar dihadapan mereka, Lucu saja mendengar nama Aditya bertransformasi menjadi Didit.

Senja pamit ingin mengambil sisa kue yang belum diantarkan. Aditya mengikutinya dari belakang.

“Lo gue anter naik motor.” Aditya menarik ujung jaket toska yang dikenakan Senja.

“Nggak! Kenapa emangnya kalau naik sepeda?” Senja sudah mendaratkan bokongnya di jok depan sepedanya dengan kedua tangan menyentuh pegangan sepeda.

“Lambat.” Enam huruf singkat keluar dari mulut Aditya. Seketika emosi Senja bergerak sampai ke Ubun-ubun.

“Kenapa Lo selalu ngehina gue, Hah!? mau lambat kek, mau cepat kek, Bukan lo yang pakai!” Senja bisa saja sangat cerewet, jikalau dia benar-benar merasa terhina.

“Keras kepala, Turun!” Aditya mengkode Senja dengan dagu lancipnya, menyuruh senja berpindah ke belakang.

Senja menarik napas, karena sepertinya oksigen yang berada diparu-parunya telah habis digunakan untuk beradu mulut dengan Aditya.

“Pegangan,” Titah Aditya dengan suara Bassnya.

“Iya, Didit.” Sebut Senja dengan sedikit terkekeh kecil.

“Jangan panggil gue seperti itu!” Aditya mulai meroda sepeda milik senja keluar dari gerbang panti, Senja berpegangan pada Jaket Bomber berwarna hitam milik Aditya.

“Kenapa?” Nada keheranan Senja sampai ketelinga Aditya yang kini meroda dengan pandangan lurus kedepan.

“Karena yang boleh manggil gue seperti itu hanya orang dekat gue, Lo emang siapa?”

Bibir Senja terkunci rapat-rapat.

Benar! Dia baru saja bertemu Aditya dan dia sudah sok akrab dengannya, Astaga! dia melupakan Fakta itu.

Bodoh! kenapa dirinya harus memanggil Aditya seperti itu?

Setelah itu, Tiada lagi suara antara mereka, yang terdengar hanya hembusan angin yang menerpa wajah kedua sejoli yang saling bungkam itu

Heart Shot (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang