"Tidak perlu bertahan ketika kamu tidak bahagia. Pergilah dan cari kebahagiaan itu. Karena dunia tidak sesempit itu hanya untuk menerima penderitaan."
***
Tinggal memasukkan baju milik Abiandra, setelah itu semuanya lengkap. Lastri berjalan ke arah pintu kamar anaknya. Bocah kecil itu sedang menumpuk tiga helai bajunya serta sebuah sarung dan peci.
"Abi sudah selesai?" tanya sang ibu di ambang pintu kamarnya.
Kepalanya menggangguk pelan, tersenyum, kemudian berjalan menyerahkan baju-bajunya. Tidak banyak yang dibawa, karena baju merekapun tergolong sedikit. Tidak ada yang perlu dikemas lagi. Lastri langsung memasukkan pakaian anaknya ke dalam tas jinjing berukuran sedang.
Sehelai uang lima puluh ribu pun sudah dia simpan baik-baik. Sekarang, semuanya sudah siap, mereka akhirnya bisa pergi sejenak dari rumah ini.
"Yuk, Abi sudah siapkan?"
Abi tersenyum, lalu mengangguk.
"Ya udah, kita pergi sekarang y--"
"Mau pergi ke mana kalian?"
Baru juga akan beranjak dari duduknya dan menggamit tas, suara besar itu memotong ucapan Lastri. Membuat dua orang dalam rumah kontan menolehkan kepala masing-masing ke sumber suara.
Oh, kamu Mas. Si pecundang yang bisanya kabur dan baru kembali. Sekarang mau apa lagi?
Aried berjalan ke arah keduanya, memperhatikan bergantian tas, Abi dan istrinya. Dia kemudian tergelak tanpa alasan.
"Oh begini kelakuan kau? Suami tak ada di rumah lantas seenaknya kau pergi? Benar-benar istri tak yau diuntung!"
Lastri diam, dia menghirup udara yang ada agar emosinya tidak memuncak. Menenangkan dirinya sendiri, rasanya sudah lelah mendengar segala cacian dari pria di hadapannya ini.
Sedangkan Aried, yang tak mendapat respon semakin naik pitam. Sudah siap rasanya kata-kata makian disemburkam pada wajah wanita ini. Tapi, Lastri langsung menarik Abi besertasnya ke luar dari rumah.
Pria itu tak mau kalah. Tangannya langsung mencengkram lengan Abi yang melintas di sampingnya. Kuat, bahkan terlalu kuat. Rasanya tangan kecil itu hampir patah.
Menyadari ada yang menahan tangan anaknya, Lastri menoleh. Dia mentap bengis ke arah Aried yang juga menatapny sama.
"Lepas!" titah wanita itu.
Tapi Aried tidak ada niatan untuk melepaskannya. Dia semakin kuat menggenggam lengan Abi, hingga memerah meninggalkan bekas. Anak itu merintih kecil kesakitan.
Memdengar rasa sakit yang dirasakan, Lastri dengan paksa melepaskan tangan besar itu dari lengan Abi. "Lepaskan, Mas!"
"Tidak akan pernah! Sebelum kalian bilang, ingin pergi ke mana kalian berdua!"
Lastri yang susah payah melepaskan tangan Aried, akhirnya memukul pergelangan tangan laki-laki itu. Aried mengaduh sakit dan melepaskan pegangannya. Perempuan itu lantas menarik Abi menjauhi si monster gila.
Aried menggeram murka, gigi-giginya bergemelutuk menahan rasa sakit dan amarah untuk menampar wanita ini.
"Awas kau Lastri!"
"Kenapa, Mas? Masih sakit? Itu belum seberapa," Lastri berdengus. "Kamu lihat tangan Abi? Lihat luka di sudut bibirnya? Kamu pikir semua perlakuan kamu pada anakku tidak menyakiti dia?!"
"Abi itu bukan anakmu!"
"Abi itu anakku! Kamu menyakiti dia dan masih menganggap kamu adalah ayahnya?! Jangan mimpi kamu, Mas!"
Abi menunduk takut, rasa tidak nyaman saat mendengar suara bernada tinggi membuat air di pelupuk matanya terbendung. Sedangkan sang ibu, napasnya memburu. Dia tidak tahan untuk terus diam dan membiarkan orang yang otaknya belum sadar ini terus menindas dirinya dan Abi.
"Kamu...." jedanya, "Menampar Abi kemarin, setelah itu kabur seperti pengecut meninggalkan rumah. Dan hari ini baru kembali? Lucu sekali, yang seperti itu kamu sebut seorang ayah?!"
Kali ini Aried diam. Entah, mungkin dalam kepalanya. Otak batunya mulai sadar. Dia tidak melawan Lastri, dia kehilangan kata untuk mencaci wanita itu. Dia kehilangan kata untuk mebela dirinya sendiri. Karena nyatanya, kejadian siang itu benar-benar memalukan. Dia melakukan kesalahan kemudian kabur seperti seorang pengecut.
Wanita itu berdengus, melihat respon yang Aried berikan membuatnya sedikit merasa bersalah. Dia mengambil tasnya yang sempat terjatuh di lantai. Tangan Abi dia genggam erat. Lastri menatap sendu pada laki-laki yang menunduk terdiam. Mungkin pikirannya masih memproses kalimat yang perempuan itu katakan barusan.
Embusan napas keluar dari mulu Lastri. "Aku dan Abi akan pulang ke rimab bapak dan ibuku di desa. Kami mau mencari ketenangan sementara waktu. Jangan tanya kami akan pulang, karena aku juga tidak bisa memastikan. Jaga diri kamu tanpa aku dan Abi, Mas. Assalamu'alaikum."
Mereka berdua berbalik, melangkah pergi meninggalkan rumah. Jika dipikir, Lastri sudah melakukan kesalahan. Meskipun Aried selalu berlaku kejam pada dirinya setidaknya dia masih suaminya. Orang yang harusnya dia patuhi dan mintai ijin jika akan pergi seperti sekarang ini. Namun, rasa sakit mengingat perlakuan Aried membutakan hatinya untuk bersikap baik pada laki-laki itu.
Dia berjalan beriringan dengan hati yang setengah bimbang. Di satu sisi dia sudah salah tidak patuh pada suaminya. Di satu sisi lain, dia ingin Abiandra anaknya hidup tanpa mendengar lagi pertengkaran di antara dirinya dan Aried. Apakah yang seperti itu salah?
Walaupun tidak yakin, Lastri terus berjalan. Dia tidak ingin kembali ke rumah itu. Bukan ladang pahala yang akan didapatkannya. Bahkan mungkjn lebih banyak dosa karena melawan Aried suaminya. Apakah Allah marah karena aku bersikap dan berpikir demikian? Apakah jalan yang aku ambil adalah salah?
Tidak!
Aku harus membahagiakan Abiandra! Dialah satu-satunya korban dari keegoisan kami. Setidaknya aku ingin melihatnya tertawa bahagia, bermain seperti anak seusianya. Biarlah dosa itu aku yang tanggung sendiri, demi putra kecilku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]
General Fiction#7 in General Fiction Hujan membuatku ingat, pada masa di mana aku belum.bisa tersenyum bahagia. Namun, aku tetap menyukainya. Masa lalu memang terasa sangat pahit. Namun sayangnya, aku tidak bisa memutar kembali kemudian memperbaikinya. Kesalahan a...