Semua menatap serius orang yang berkata dengan nada datar di hadapan mereka. Malam ini sunyi, Irma, Lastri dan Romlah pergi ke pengajian rutin mingguan di rumah tetangga. Sedangkan anak laki-lakinya dan teman ssatu sekolah yang biasa nangkring setiap malam untuk belajar atau bermain di rumah, tengah berbicara serius tentang kejadian tadi siang.
"Bi. Astaga, gilak ini anak dah." Feb berseru sambil memijat pelipisnya.
"Jadi lusa kamu beneran mau lawan mereka, Bi?" Eko yang awalnya tak percaya bertanya santai.
Orang yang ditanyai hanya mampu mengangguk pelan. Mau bagaimana lagi? Abi tidak mungkin untuk tidaj datang. Chocron menyebut-nyebut Irma, adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Meskipun bukan adik kandungnya, Abi menyayangi Irma seperti adiknya sendiri. Terlebih, Irma sekarang sudah mengetahui siapa dia yang sebenarnya.
Awalnya, Lastri takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada Irma. Wanita itu takut jika anak petempuannya itu akan sedih, dan berusaha kabur untuk mencari siapa orang tua kandung. Namun, di luar dugaan Lastri. Irma menerima semuanya, dia sudah tahu tentang dirinya sendiri.
Dulu, dia ditinggalkan begitu saja di sebuah stasiun kereta api oleh ibu kandungnya. Tanpa sepeserpun uang, tanpa tahu arah tujuan. Ibunya pergi tanpa melihat ke arah belakang. Dan gadis itu sudah tahu dari dulu jika dia bukanlah anggota keluarga wanita itu. Namun, tidak ada lagi orang yang mau menampungnya kecuali keluarga kecil ini.
"Irma tidak pernah keberatan hidup bersama ibu, nenek, bahkan mas. Irma malah senang karena kalian mau menerima Irma di sini. Rasanya sangat bahagia bisa bertemu dengan orang yang masih mau menampung Irma. Anak yang bahkan tidak tahu asal usulnya."
Abi mengingat setiap kalimat dari adiknya itu. Sambil menangis sesenggukan, Irma terus mengatakan terimakasihnya pada Lastri, Abi dan Romlah. Tidak mungkin Abi sebagai seorang kakak membiarkan adiknya diganggu oleh laki-laki lain.
"Kita bakal bantuin kamu kalo gitu," Cakra memecah keheningan yang terasa menegangkan dj ruang tamu.Kini, semua mata mengarah padanya.
"Situ gilak juga Cak? Astaga, ini anak pada kenapa dah.""Iya bener, kita bakal bantuin kamu kagi, Bi." Eko menyetujui usulan Cakra. Sedangkan Feb hanya melongo. Dulu, dia hanya bermodal nekat, walaupun sering juga dia bertengkar dengan anak seusianya ketika SMP dulu, tapi sekarang sudah tidak lagi.
Daripada dilempari baru dan dikatai anak durhaka oleh emaknya, Feb lebih memilih untuk berhenti berkelahi. Kecuali saat menolong Abi itu demi kebaikan. Nah, kalau yang ini apa namanya? Ah, mungkin masuk dalam hitungan amal kebaikan juga.
Feb jadi bingung sendiri, mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia harus ikut bersama mereka atau tidak kali ini? Sementara teman-temannya terbawa terbahak-bahak melihat tingkah laki-laki itu.
"Jadi gimana Feb? Ikut?" tawar Cakra.
Setelah mengalami dilema akhirnya Febrian membuat keputusan, "Yaudah, aku ikut. Awas aja kalau emak marah kalian juga ikut belain aku."
"Bahaha, siap Feb. Gitu dong sebagai teman." Eko menepuk-nepuk pundak sobatnya sedari kecil itu.
Senyum Abi sambil memperhatikan mereka. Baru kali ini, baru saat ini. Abi ingin terus bersama dengan orang. Dia merasa benar, dunia tidak sesepi dulu. Jalannya tidak segelap dulu. Mungkinkah Tuhan memberikan kisah bahagia saat ini untuknya? Kalau begitu, akan jadi apa hari esok untuk Abi?
***
Matahari bersinar di atas kepalanya, sedikit awan menutupi sinar membuat udara Kota Batu tidaklah sepanas kota-kota lain di pulau jawa. Abi langsung pergi ke tempat yang sudah dijanjikan.
"Aku cabut duluan, rek."
"Yo. Hati-hati, Bi. Nanti kita nyusul."
"Jangan bonyol duluan, yo."
Abi tertawa sejenak kemudian keluar dari kelas. Kakinya melangkah tanpa ragu untuk menjemput sang adik sekaligus menagih janji.
Beberapa menit akhirnya laki-laki itu sampau di gang sempit. Suasanya sama, lembab dan berbau alkohol di mana-mana. Ada sebagian orang yang dulu pernah Abi lihat bermain kartu dengan penampilan acak-acakan.
"Wah, jagoan kita datang juga." Suara yang paling Abi kenali bergema.
"Bah, bukan jagoan kali Chok. Yang seperti dia disebutnya pecundang!" Temannya yang lain menimpali.
Ada sekitar sepuluh orang, termasuk Chocron di sana siap dengan tongkat kayu mereka seperti biasa.
"Bah," laki-laki itu mulai memercik api. "Kalian bilang aku pecundang? Gak liat diri sendiri? Ngaca bro! Daei awal kalian mainnya kroyokan kek ayam! Kalau berani maju satu-satu!"
Ocehan tajam terus meluncur mulus tanpa kendala. Orang-orang yang geram dengan kalimaf yang anak itu katakan, akhirnya terpancing dan langsung menghajar Abi bersamaan. Masih sama menggunakan pemukul kayu yang dulu. Beberapa kali laki-laki itu mencoba menghindar dan melawan. Namun ternyata memang dari awal dia sudah kalah tenaga.
Satu pukulan kayu menghantam bagian punggungnya, membuat Abi terjatuh. Ah, sepertinya tugasnya sudah sampai di sini kali ini tugas teman-temannya itu untuk meringkus tikus-tikus kecil ini.
"Di sana, Pak!" terak seseorang dari ujung gang.
"Mereka yang bikin resah warga sini!" teriakan lain berasal dari ujung gang lain.
"Hei kalian! Berhenti! Angkat tangan! Jangan ada yang kabur atau kami tembak! Kami dari kepolisian!"
Mendengar kata polisi disebut, orang-oranh itu berhenti. Mereka melakukan perintah yang dikagakan polisi tadi. Cakra, Feb, dan Eko yang baru datang menghampiri Abi yang sudah jatuh.
"Keren, bro. Nambah lagi luka situ," Ucap Cakra.
"Mantapz gan," timpal Eko.
Cakra dan Eko membopoh Abi menjauh dari tempat mereka. Sambil menatap sinis orang-orang yang kini sudah tak dapat melawan. Feb yang berpapasan dengan Chocron mencebikkan bibirnya, dia lantas menginjak kaki Chocron keras-keras sampai membuat empunya kaki mengaduh kesakitan dan hampir memukul Feb.
"Kalian ini masih mudah sudah bikin resah warga! Mau jadi apa kalian nantinya?" polisi yang berbicara itu melirik botol-botol bekas yang tergeletak. "Bukan cuma bikin resah. Kalian juga minum-minuma tidak sehar seperti ini. Bawa mereka semua!"
Sepuluh orang dibawa ke mobil yang sudah terparkir di depan gang. Mereka dinaikkan setelah satu polisi tadi berterimakasih pada keempat remaja itu. Polisi itu juga membawa Abi untuk mengobati luka-lukanya.
Akhirnya, warga ikut lega mendengar kabar tertangkapnya remaja-remaja nakal itu. Abi dan yang lain juga rasanya sudah lega menyerahkan Chocron dan gengnya ke pihak berwajib. Biarlah mereka mendapat derita, sudah terlalu lama orang-orang itu bersenang-senang di dunia gelap. Waktunya mereka semua sadar dari perbuatan mereka yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]
General Fiction#7 in General Fiction Hujan membuatku ingat, pada masa di mana aku belum.bisa tersenyum bahagia. Namun, aku tetap menyukainya. Masa lalu memang terasa sangat pahit. Namun sayangnya, aku tidak bisa memutar kembali kemudian memperbaikinya. Kesalahan a...